Tampilkan postingan dengan label Muslimah. Tampilkan semua postingan
Berhijab, Minus Karya?
By : Ave Ry
Para Feminis barat berkata, bahwa hijab adalah sebuah bentuk opresi ; yang dengannya seorang wanita menjadi terkungkung dalam kehidupan sosialnya.
Sebaliknya, mereka menyuarakan gerakan top-less alias bertelanjang da**, bahkan tidak keberatan sama sekali dengan kaum nudis.
Apakah benar demikian?
Pada masa-masa awal, Islam sudah mengenal wanita cerdas yang lincah, menghafal ribuan hadist Rasulillah, A'isyah binti Abu Bakar radhiallahu anha.
Pada masa yang sama, tersebutlah seorang penyair, mujahiddah nan bijaksana, Al-Khansa kita mengingatnya.
Bahkan, dimasa berikutnya akan menghabiskan berhalaman-halaman kisah tentang para wanita berhijab yang luar biasa.
Berhijab, sememangnya adalah sebuah bukti ketundukan seorang muslimah pada Rabb-nya. Entah ia dalam keadaan terpaksa atau rela.
Namun mengatakan ia sebuah bentuk opresi adalah hal yang keliru. Nyatanya, para muslimah bebas melakukan apa saja yang menjadi passion-nya.
Hanya, para muslimah di-didik untuk melihat batasan yang sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Aku Tidak Lebih Baik dari Kalian
By : Ave Ryﺍﻟﺤَﻤْﺪُ ﻟﻠﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺃَﻇْﻬَﺮَ ﺍﻟﺠَﻤِﻴْﻞَ ﻭَﺳَﺘَﺮَ ﺍﻟﻘَﺒِﻴْﺢَ
“Segala puji bagi Allah yang menampakkan yang baik dan menutupi yang buruk.”
Menjadi seorang Muslim/Muslimah yang telah ter-tarbiyah adalah sebuah beban tersendiri apalagi jika ia berada dalam lingkungan yang penuh dengan keragaman. Sosoknya sedikit banyak akan menjadi sorotan public.
Bagi saya pribadi, hal ini amat berat. Kita secara tidak langsung dituntut untuk bersikap ‘lebih’. Untuk seorang akhwat saya contohkan, ketika ia telah berazzam untuk menutupi tubuhnya dengan penutup sesuai perintah agama lalu ia juga terlihat aktif mengikuti kajian maka orang-orang sekitarnya akan ‘men-stempel’ dirinya dengan cap sesuai persangkaan yang ada pada orang banyak.
Pertanyaan-pertanyaan seputar agama banyak dialamatkan padanya, baik itu dari orang yang mengenalnya dekat maupun dari orang yang memperhatikannya selintas lalu. Kemudian jika ia berada dalam sebuah tempat ibadah umum dan akan melaksanakan shalat wajib maka tetiba ia didaulat untuk mengimami. Dan masih banyak contoh yang lain.
Salah satu karib saya beberapa kali mengeluhkan hal ini, “Aku tidak sebaik apa yang kalian pikirkan” begitu curhatnya. Dalam hati sayapun mengamini, bahkan saya lebih dalam lagi. Perasaan tidak pantas adalah perasaan yang mungkin sulit dimengerti bagi sebagian orang. Ini bukan persoalan minder, rendah diri atau yang semacam itu namun perasaan yang penuh dengan kesadaraan bahwa diri yang seringkali dijadikan percontohan, panutan tidak lebih dari seorang manusia yang baru saja meniti, belajar sambil mengamalkan dengan amalan yang jika tidak ada maka ia amat sedikit sekali.
Malu, mungkin kata ini dapat sedikit menggambarkan. Andai saja orang lain mengetahui keburukan-keburukan yang ada, dan yang terpenting adalah malu kepada-Nya. Bagaimana dapat mengangkat wajah nanti dihadapan-Nya? Secuil amal yang terbalut dengan selimut dosa.
Maka, dengan rasa malu yang tersembunyi, beban itu sudah seharusnya berganti. Ya, beban yang bertransformasi menjadi tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menggiatkan diri lebih baik lagi. Bukankah Rasulullah berpesan, “Bertakwalah kamu kepada Allah dimana dan kapan saja kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu menghapus keburukan itu, dan pergaulilah manusia dengan ahlak yang baik” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi, al-Bazar dan Abu Nu’aim dari Abu Dzar al-Ghiffari)
ﺃَﻟﻠﻬُﻢَّ ﻻَ ﺗُﺆَﺍﺧِﺬْﻧِﻲْ ﺑِﻤَﺎ ﻳَﻘُﻮْﻟُﻮْﻥَ، ﻭَﺍﻏْﻔِﺮْﻟِﻲْ ﻣَﺎﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮْﻥَ، ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻨِﻲْ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﻈُﻨُّﻮْﻥَ
“Ya Allah, jangan Engkau tuntut aku dengan apa yang mereka katakan (ucapkan), dan ampunilah aku atas apa-apa yang mereka tidak ketahui dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangkakan.”
Muslimah & Keindahan
By : Ave Ry
Sesungguhnya Allah itu suka melihat nikmat yang Dia berikan kepada hamba-Nya (HR. Muslim)
Di dalam kitab as-Sunan disebutkan satu riwayat dari al-Ahwash al-Jusyami, ia berkata;
“Nabi pernah melihatku memakai pakaian lusuh, lantas beliau bertanya: ‘Bukankah kamu mempunyai harta?’ Aku menjawab: ‘Ya’. Beliau bertanya lagi: ‘Apakah jenis hartamu itu?’ Aku menjawab: ‘Dari jenis unta dan kambing’. Kemudian beliau bersabda: ‘Hendaklah nikmat dan kemulian-Nya kepadamu itu diperlihatkan’.” (HR. Tirmidzi)
Allah senang melihat wujud nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya. Sebab, memperlihatkan nikmat Allah merupakan salah satu keindahan yang dicintai-Nya dan sekaligus bentuk syukur hamba atas nikmat yang diberikan kepadanya.
Syukurnya hamba itu merupakan keindahan bathin. Dengan kata lain, Allah senang melihat keindahan lahir, yaitu wujud nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba-Nya, dan keindahan bathin berupa rasa syukur hamba kepada-Nya.
Oleh sebab kecintaan-Nya pada keindahan, Allah menurunkan pakaian dan perhiasan kepada para hamba-Nya untuk memperindah penampilan lahir mereka, serta pakaian taqwa untuk memperindah bathin mereka.
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa, itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Al-A’raaf : 26)
Seorang muslim ataupun muslimah yang berhias sesuai ketentuan Islam, maka sesungguhnya telah menegaskan jati dirinya sebagai mukmin ataupun muslim. Mereka telah menampilkan diri sebagai sosok pribadi yang bersahaja dan berwibawa sebagai cermin diri yang konsisten dalam berhias secara syar'i.
Di samping itu dengan dandannya yang telah mendapatkan jaminan halal secara hukum. Sehingga apa yang sudah dilakukan akan menjadi motivasi untuk menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesamanya. Tidak menimbulkan keangkuhan dan kesombongan karena dandanan (hiasan) yang dikenakan, karena keangkuhan dan kesombongan merupakan perangkap syaithon yang harus dihindari.
Berhias secara Islami akan memberikan pengaruh positif dalam berbagai aspek kehidupan, karena berhias yang dilakukan diniatkan sebagai ibadah, maka segala aktivitas berhias yang dilakukan seorang muslim, akan menjadi jalan untuk mendapatkan barokah dan pahala dari al-Kholik. Namun sebaliknya apabila seseorang dalam berhias (berdandan) mengabaikan norma Islam maka segala hal yang dilakukan dalam berdandan, akan menjadi pendorong untuk melakukan kemaksiatan kemungkaran bahkan menjadi sarana memasuki perangkap syaithon yang menyesatkan.
Sejak awal agama Islam telah menanamkan kesadaran akan kewajiban pemeluknya untuk menjaga sopan santun dalam kaitannya dengan berhias ataupun berdandan, dengan cara menentukan bahan, bentukm ukuran dan batasan aurat baik bagi pria ataupun wanita.
Berhias merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut tuntutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan dalam berhias menjadi tuntutan yang terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan kegiatan berhias atau berdandan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keinginan mengembangkan berbagai model menurut fungsi dan momentumnya, sehingga berhias dapat menyatakan identitas diri seseorang.
Dalam Islam diperintahkan untuk berhias yang baik, bagus, dan indah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa, perhiasan tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berhias, yaitu mempercantik atau memperelok diri dengan dandanan yang baik dan indah. Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat, maka seyogyanya perhiasan yang kita pakai itu haruslah yang baik, bersih dan indah (bukan berarti mewah), karena mewah itu sudah memasuki wilayah berlebihan.
"Hak anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan, minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (Al-A'raf : 31)
Islam mengajak manusia untuk hidup secara wajar, berpakaian secara wajar, berhias secara lazim, jangan kurang dan jangan berlebihan. Karena itu setiap pribadi sepatutnya tidak menyombongkan diri, tidak angkuh, tetapi tetap sederhana dan penuh kebersahajaan sebagai wujud konsistensi terhadap ajaran Islam.
Sumber :
Fawaidul Fawaid, Ibnul Qayyim Al-Jauzziyah
Menjaga Akidah dan Akhlak, Roli Abdul Rahman - M. Khamzah
Kau Berbeda, Itulah Yang Membuatmu Sempurna
By : Ave Ry“Barangsiapa yang memenuhi hatinya dengan ridha kepada takdir, maka Allah memenuhi dadanya dengan kecukupan, rasa aman, dan qana’ah, serta mengosongkan hati orang tersebut untuk mencintaiNya, kembali kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan Allah, dan bertawakkal kepadaNya.”
Masing-masing pribadi itu unik dan membawa unikum yang berbeda antara satu dengan lainnya, lengkap dengan paket kelebihan dan kekurangannya. Suatu hal yang selaras dengan fitrah, ketika di satu sisi seseorang dianugrahi banyak kelebihan, namun di sisi lain ada orang yang dianggap punya lebih banyak kekurangan. Adanya kelebihan merupakan anugrah yang patut disyukuri, bukan untuk berbangga diri, dan adanya kekurangan bukanlah hal yang harus ditangisi. Oleh karena itulah, seseorang hendaknya bisa berusaha menutupi kekurangan – kekurangannya dengan menggali dan melejitkan potensi terpendam yang ada dalam diri.
Tiap diri seyogyanya mengenal dan menganalisa segi positif dan negatif yang dikaruniakan padanya. Segi positif itu, diselaraskan dengan syariat untuk membangun keistimewaan, kekuatan, dan kecantikan dalam diri (inner beauty) guna menutup kekurangan yang dia miliki, sehingga orang tersebut nantinya akan memiliki mizah (ciri khas yang bisa membedakan antara dirinya dengan orang lain).
Adapun segi negatifnya, secara perlahan-lahan dikurangi dan ditutupi. Tidak usah minder ataupun rendah diri jika merasa hanyalah orang yang “biasa saja” dan memiliki social value (nilai sosial) yang standar lagi rata-rata saja. Bisa jadi jika orang yang “biasa saja” itu mengoptimalkan segala aset yang dimiliki, dan berusaha menjalani penempaan diri laksana proses pengasahan permata, bukan hal yang mustahil andaikata justru hasil akhir tempaan itu kemilau pesonanya melebihi orang yang memang terlahir “lebih dari standar rata-rata“.
Berbicara sedikit mengenai permata, proses pengasahan bahan mentah permata dari batuan “kusam” menjadi permata yang berkilau, bisa dianalogikan dengan keadaan wanita yang biasa saja namun menjadi luar biasa, karena dia berusaha melejitkan potensi diri dan melebarkan “jangkauan sayap” kharismanya.
Pada umumnya, bahan mentah permata hanyalah berupa batuan biasa yang berwarna, kecuali intan yang kebanyakan transparan (meskipun intan pun sebenarnya beraneka macam warnanya). Orang awam yang menemukan bebatuan seperti ini bisa jadi membuangnya begitu saja, lantaran dianggap batuan biasa. Lihatlah bedanya ketika batu ini mengalami penempaan dan proses pengasahan. Subhanallah! Batu “kusam” ini berubah menjadi batu mulia yang kilaunya sungguh memukau mata.
Kalaulah ada yang masih berkecil hati karena harta, rupa, ataupun hal yang menyangkut dunia…janganlah merasa rendah diri…masih banyak orang yang lebih banyak celanya dari kita. Syukurilah, berbahagialah dengan apa yang dimiliki, sabar serta ridha atas segala yang Allah karuniakan bagi diri kita.
Rasulullah Saw bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang lain yang lebih besar karunianya dalam harta dan rupa, maka lihatlah orang yang lebih rendah dari apa yang telah dikaruniakan kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim hal 1987 dari hadits Abu Hurairah r.a,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk dan harta yang kalian miliki, akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan yang kalian lakukan.”
Dan di dalam riwayat Imam Muslim yang lain:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat badan dan bentuk kalian, akan tetapi Dia melihat hati – hati kalian.”
Hasan Al-Bashri berkata,
“Jikalau engkau melihat ada seorang yang mengunggulimu dalam urusan dunia, maka unggulilah dia dalam urusan akhirat.”
Satu hal yang pasti, Allah tidak selalu memberikan semua yang kita inginkan, namun Allah akan memberi pilihan terbaik-Nya dari yang kita perlukan.
Source:
1. Muslimah.or.id
2. Madarij As-Salikin
3. Lathaif Al-Ma’arif
Management Emosi Wanita
By : Ave Ry
"Dan bergaullah bersama mereka (isteri) dengan cara yang patut (diridhai oleh Allah). Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."(QS. An-Nisa:19).
Bila para pakar merasa kesulitan memahami hakekat manusia, seperti yang diungkapkan Dr. Alexis Karel dalam bukunya Man is The Unknown, maka manusia kebanyakan akan lebih sulit memahami jiwa wanita yang aktualisasi emosinya bagaikan gelas kristal, indah namun mudah pecah.
Memahami Wanita
Dalam bahasa Arab wanita sering disebut al-jins al-lathif (jenis yang lembut). Yang dikaitkan dengan dinamika kejiwaan, relung emosional dan perasaannya.
Kondisi emosi yang ‘ khas’ ini merupakan kelebihan sekaligus kekurangan wanita, sehingga kadang wanita sering salah paham dan sulit memahami dirinya sendiri, apalagi mengendalikan dan mengelola emosi secara baik. Padahal kata wanita dalam bahasa Jawa sendiri merupakan kependekan dari wani ditata yang berarti berani ditata atau dikelola.
Sementara itu manusia pada dasarnya sudah merasakan kodrat hidup dan dapat menangkap adanya sesuatu yang menjadi fitrah maupun takdirnya, sebagaimana diungkapkan dalam surat al-Qiyamah: 14. "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri." Namun banyak manusia lebih suka mencari jati diri diluar dirinya dan cenderung mencari kambing hitam dengan menutupi atau membodohi diri sendiri. Karenanya, Allah mengingatkan manusia untuk melihat kedalam dan jujur pada diri sendiri sehingga dapat mengelola kekurangan dan kelebihannya secara optimal tanpa upaya manipulasi atau distorsi. Dalam QS. Adz-zariyat:21 Allah berfirman: Dan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?
Menurut Dr. Frederick, tabiat dan keadaan psikis wanita mengalami proses stagnasi. Seandainya wanita tidak memiliki emosi dan kemanjaan anak-anak, sulit baginya menjadi ibu yang baik. Wanita bisa dipahami anak-anak karena perasaannya mengandung sifat kekanak-kanakan. Bahkan, lanjut Dr.Frederick, dalam perkembangannya wanita cenderung bersifat kekanak-kanakan.
Wanita lebih banyak menggunakan praduga, perasaan dan emosi ketimbang rasio. Wanita terkondisikan untuk lebih bersikap pasif daripada bersifat aktif, pun bersikap pasrah daripada bersifat menguasai. Wanita secara kodrati tercipta untuk berada ditengah anak dan suami sehingga ia merupakan titik sentral dalam menjaga keharmonisan anggota keluarga dengan kecenderungan masing-masing.
Maka jika suami mampu memahami isterinya, ia akan mendapat kesenangan dari isteri dalam batas-batas fitrah. Sebaliknya, jika ia tidak mampu memahami isterinya, boleh jadi ia akan menghancurkan keluarganya. Karena itulah Nabi saw lalu mengingatkan suami untuk mendampingi, membimbing dan tidak menjatuhkan hukuman kepada isteri hanya karena suatu sifat jelek karena sesungguhnya ia pun demikian.
Pembelaan Islam pada Wanita
Rahmat Islam menyentuh wanita dan melindunginya dari kesewenangan pria. Islam mengajarkan pemeluknya tentang posisi dan jati diri wanita agar dapat melakukan tugasnya dengan baik. Wanita dituntut menjaga dan mengelola nilai-nilai kewanitaannya dengan baik.
Apabila fenomena dan realitas kewanitaan ini dipungkiri akan terjadi disharmoni dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
"Sesungguhnya kaum wanita itu adalah saudara kaum pria, maka sayangilah mereka sebagaimana kalian menyayangi diri kalian sendiri." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Syariat Islam telah mempelopori pengibaran bendera kesetaraan gender dengan menjadikan kaum wanita sebagai mitra suami dalam mengelola keluarga dan masyarakat.
Kemampuan memahami dan mengelola emosi merupakan kunci cinta kasih suami istri menuju keluarga sakinah (QS.Ar-Rum:21). Dengannya Allah menumbuhkan cinta suci di hati suami-isteri sehingga mereka terdorong untuk menunaikan hak dan kewajiban masing-masing tanpa paksaan. Nabi saw. pernah mengungkapkan kenangan cintanya pada Khadijah, "aku sungguh telah mendapatkan cinta sucinya." (HR. Muslim).
Agar ‘Gelas kristal’ ini tetap indah dan bening berkilau maka ia harus diperlakukan dengan penuh kelembutan (An-Nisa:19). wajib bagi kaum mukmin untuk mempergauli isteri dengan baik, yaitu menemani hidup dan mempergauli mereka dengan ma’ ruf dan berkenan di hati mereka serta tidak melanggar aturan syariat, tradisi dan kesopanan. Karena itu, mempersempit jatah nafkah, menyakiti fisik dan perasaan pasangan dengan perbuatan dan perkataan, sikap dingin dan masam, semua itu tidak termasuk pergaulan yang ma’ ruf." Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya (keluarganya) dan aku adalah sebaik-baik orang terhadap isteriku (keluargaku)." (HR. Ibnu Majah).
Rumah tangga ditegakkan atas dasar mawaddah (kasih asmara), yakni hubb (cinta kasih). Cinta yang tulus akan memotivasi sikap kooperatif, kompromistis, dan apresiatif. Saling mementingkan pasangan sehingga masing-masing memenuhi hak pasangan melebihi kewajiban, tidak hanya menuntut haknya. Suami-isteri harus bersabar atas kekurangan bahkan kesalahan masing-masing.
Bila kamu tidak menyukai mereka, karena cacat fisik atau watak yang timbul di luar kekuasaannya, kurang sempurna mengatur rumah tangga, atau ada kecenderungan kepada orang lain, maka bersabarlah dan jangan gegabah menjatuhkan keputusan. Jangan tergesa menceraikan mereka, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Manajemen Emosi, Bukan Tidak Punya Perasaan
Manajemen emosi berarti bersabar atas tabiat, keadaan kodrati, bahkan perilaku pasangan, dengan tetap mentarbiah dengan ihsan sehingga membuahkan cinta yang tulus. Kebajikan harus tumbuh dari niat ikhlas agar mendapatkan timbal balik yang tulus. Kebaikan dan kebahagiaan pasangan tidak dijamin dengan nafkah lahir materi. Perlakuan dan sikap simpatik lebih efektif merebut hati pasangan sehingga timbul saling memaklumi kekurangan yang ada. Rasulullah berasabda:
"Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memuaskan orang hanya dengan harta kalian, namun kalian akan dapat memuaskan orang dengan tatapan simpatik dan akhlak yang baik."
Keahlian manajemen emosi dapat dilihat pada perilaku dan pola hubungan suami istri pada zaman rasulullah saw. Kejengkelan Aisyah kepada Nabi saw, hanya diekspresikan melalui perubahan gaya bahasa. Nabipun tanggap terhadap ketidaksukaannya serta menyikapi dengan penuh kesabaran.
Suatu hari Rasulullah saw mengatakan kepada Aisyah ra, "saya sangat mengenal, jika kamu sedang suka padaku maupun jika kamu sedang jengkel." Lalu Aisyah bertanya, "bagaimana engkau dapat mengetahuinya?" beliau menjawab, "jika kamu sedang suka, maka kamu menyatakan (dalam sumpah) ‘ tidak, demi Rabb Muhammad’ , namun jika kamu sedang jengkel, menyatakan, ‘ tidak, demi Rabb Ibrahim’ (HR. Muslim).
Itulah kelebihan Aisyah dalam mengelola emosi sehingga tidak melanggar norma kesopanan dan mengganggu keharmonisan keluarga.
Manajemen emosi bukan mematikan atau membekukan perasaan. Wanita harus bersikap ekspresif, komunikatif dan proaktif, baik terhadap suami maupun keluarga sehingga terbangun komunikasi yang sehat. Disinilah diperlukan kearifan wanita untuk tidak memancing ego dan emosi suami. Agar ia tidak sampai menggunakan kekerasan akibat kemarahannya.
Pribadi yang shalihah dapat mengelola emosi menjadi potensi yang membangun bukan merusak, mengokohkan bukan merobohkan serta mudah toleransi atau memaafkan orang lain. Sifat ini merupakan salah satu kunci kebahagiaan, kebaikan dan kelestarian rumah tangga.
"Dan orang-orang yang menahan amarah (emosi)nya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran:134).
Source :
1. DR. H. Setiawan Budiutomo (Dewan Syariah Nasional MUI)
2. Hayatuna al Jinsiyah
3. Rakaiz al Iman Bayna al Aqlu wa al Qalbu
4. Tafsir Al Manar
Sebuah Renungan Untuk Para Muslimah
By : Ave RySebuah catatan ringan untuk kita muslimah yang berusaha menjaga izzah
semoga bisa menjadi bahan renungan dengan tidak bermaksud menyinggung ataupun menyakiti hati…
” Ukhti, statusmu itu lho selalu membuatku bersemangat, jantungku berdebar-debar, pokoknya ana bangga mengenal ukhti. Maukah ukhti menjadi orang yang mengajarkan ana tentang ilmu…bla..bla..bla..” akhirnya nafsu berbicara.
semoga bisa menjadi bahan renungan dengan tidak bermaksud menyinggung ataupun menyakiti hati…
” Ukhti, statusmu itu lho selalu membuatku bersemangat, jantungku berdebar-debar, pokoknya ana bangga mengenal ukhti. Maukah ukhti menjadi orang yang mengajarkan ana tentang ilmu…bla..bla..bla..” akhirnya nafsu berbicara.
Tag :
Muslimah,
Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan
By : Ave Ry“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nur: 30,31)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya,
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya,
Tag :
Muslimah,
Muslimah-Muslimah Pendakwah Agama Allah, Adakah Sosok Itu Kini?
By : Ave RyDi masa Rasulullah Saw, sosok-sosok wanita muslimah yang berjuang gigih mendakwahkan agama Allah banyak dijumpai. Bahkan, sejarah Islam mencatat bahwa sosok yang pertama kali menyambut dakwah Islam adalah seorang wanita, yaitu Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Saw. Selain Khadijah Ra masih banyak wanita-wanita Islam yang namanya abadi. Di antara mereka ada Aisyah Ra, Ummu Sulaim, Nusaibah, Sumayyah, Asma binti Abu Bakar, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, Fathimah binti Khatab dan masih banyak wanita lain yang memegang peranan penting dalam perintisan dakwah Rasulullah Saw.
Tag :
Muslimah,