Tampilkan postingan dengan label Artikel Islami. Tampilkan semua postingan

Qodirun 'Alal Kasbi

By : Ave Ry


Kaum muslim (Indonesia) saat ini bermental katjung, tidak setuju?

Tengoklah lingkungan kita, seberapa banyak pekerja dan pengusaha kemudian bandingkan. Salah satu penyebab adalah kurangnya sifat kemandirian tertanam dalam benak bangsa kita saat ini. Lebih mudah mengekor saja, tak perlu berpeluh sangat.

Padahal jika menengok kejayaan Islam dimasa kenabian maupun khulafaur rasyidin, pada saat itu kaum muslim adalah pengusaha-pengusaha hingga kemudian disegani karena mampu menata kehidupan sosial mereka dengan berasaskan prinsip sesuai nash.

Masih ingatkah kita dengan kisah teladan Abdurrahman bin Auf yang merupakan salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat mahir dalam berdagang. Di Kota Madinah, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar. Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad ibnu Arrabil Alausari, orang yang kaya raya di daerah tersebut.

Suatu hari, Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Hartaku akan kubagi menjadi dua bagian dan separuhnya untukmu. Pilihlah istriku yang kamu sukai nanti aku ceraikan, dan kamu nikahi.” Mendengar tawaran itu, Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu. Tunjukkan saja di mana tempat pasar perdagangan di Madinah.” Sa’ad menjawab, “Oh baiklah, ada, yakni Pasar Bani Qainuqa.” Kemudian, Abdurrahman memulai usahanya dengan berdagang keju dan minyak samin.

Salah satu pelajaran (ibrah) yang dapat diambil dari kisah ini adalah sikap untuk tidak menjadi beban hidup orang lain alias harus bisa hidup mandiri dengan memiliki pekerjaan yang halal.

Rasulullah bersabda,

“Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat – lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari)

Begitulah, kemandirian dari usaha seseorang bukan hanya menenangkan, namun ia memberikan kemantapan prinsip. Ia tidak akan mudah diperintah, merdeka dalam ihwal keputusannya.

Qowiyyul Jismi

By : Ave Ry


Jika menengok kepada masa lalu, tentu kita merasa malu ; Kita yang saat ini sedikit terkena hujan langsung flu, pergi menuntut ilmu naik motor masuk angin. Hampir tiada beda dengan balita. Apakah ini ada kaitannya dengan konspirasi global berupa vaksin? 


Sudahlah, hentikan perdebatan pro-kontra vaksin. Sikapi sesuai keyakinan dan pengetahuan yang dimiliki. Persoalan ketahanan tubuh tidak berhenti pada satu faktor saja, ia berikut pola kehidupan seseorang juga.

Memang, kekuatan jasmani bukan menjadi tolak ukur keimanan seseorang. Jasmani, sebagaimana akal adalah sarana untuk mengabdi pada Ia Yang Menciptakan. Namun segala bentuk pengabdian seorang muslim seperti shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad fi sabilillah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.

Karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda, “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah..” (HR. Muslim)

Tidak terbayangkan bukan, jika pasukan muslim terdahulu tidak memiliki kekuatan jasmani?

Munazham Fi Syu'nihi

By : Ave Ry


Dakwah Yang Indah & Tersusun 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا
Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! (An-Nisa' : 71)

"Allah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk bersikap waspada terhadap musuh mereka" . Demikian komentar Imam Ibnu Kathir berkenaan ayat ini. Lanjutnya lagi, 

Konsekuensinya adalah mempersiapkan diri dengan persenjataan dan perlengkapan, serta memperbanyak individu untuk berjuang di jalan Allah. 

Tsabaatin; yaitu kelompok demi kelompok, pasukan demi pasukan.

“Ats-tsabaat” adalah jamak dari “tsubbatun” yang terkadang jamaknya adalah “tsubuuna” 

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah : 

فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ

“Pergilah dengan tsubat”

Yaitu sekelompok, maksudnya pasukan yang terpisah-pisah, 

انْفِرُوا جَمِيعًا
“Atau pergilah seluruhnya.”

Yaitu seluruh kalian. 

Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, as-Suddi, Qatadah, adh-Dhahhak, Atha’ al-Khurasani, Muqatil bin Hayyan dan Khushaifal Jazari.

Begitulah yang dapat kita naqalkan dari al-Imam Ibnu Kathir dari kitab tafsir agungnya. 

Dari ayat ini terkandung fiqh dakwah yang sangat bernilai. Berangkat di jalan Allah ke dalam medan qital atau di medan jihad hujah & dakwah terkait dengan ayat ini. 

Sama dengan pergi secara kumpulan-kumpulan atau kesemuanya sekaligus, kedua-duanya memberi isyarat betapa syari'enya amal secara kolektif (jama’ie). Para Ikhwah yang bergerak secara berkumpulan berada dalam langkah yang padu dan indah. 

Ia persis rangkaian electron & proton yang mengelilingi nucleus dalam satu atom untuk membentuk satu jalinan geometri yang menawan. Sesungguhnya Allah mencintai keindahan.

Nafi'un Li Ghairihi

By : Ave Ry


Suatu hari, sepeninggal Rasulullah SAW, Abu Hurairah r.a. beri’tikaf di masjid Nabawi.

Ia tertarik ketika mengetahui ada seseorang di masjid yang sama, duduk bersedih di pojok masjid.

Abu Hurairah pun menghampirinya. Menanyakan ada apa gerangan hingga ia tampak bersedih.

Setelah mengetahui masalah yang menimpa orang itu, Abu Hurairah pun segera menawarkan bantuan.

”Mari keluar bersamaku wahai saudara, aku akan memenuhi keperluanmu,” ajak Abu Hurairah. 

"Apakah kau akan meninggalkan i'tikaf demi menolongku?" tanya orang tersebut terkejut.

"Ya, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda;

'Sungguh berjalannya seseorang diantara kamu untuk memenuhi kebutuhan saudaranya, lebih baik baginya daripada i'tikaf di masjidku ini selama sebulan’."

- H.R Thabrani & Ibnu Asakir -

Sebagaimana Abu Hurairah, seorang Muslim seharusnya juga memiliki keterpanggilan untuk menolong saudaranya, memiliki jiwa dan semangat memberi manfaat kepada sesama, memiliki karakter Nafi’un li ghairihi.

Kebaikan seseorang, salah satu indikatornya adalah kemanfaatannya bagi orang lain. 

Keterpanggilan nuraninya untuk berkontribusi menyelesaikan problem orang lain. 

Bahkan manusia terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Rasulullah SAW bersabda:

خير الناس أنفعهم للناس
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain
- H.R Ahmad, Thabrani & Daruquthni -

Seorang Muslim, setelah ia membingkai kehidupannya dengan misi ibadah kepada Allah semata, sebagaimana petunjuk-Nya didalam Al-Qur-an. 

Maka orientasi hidupnya adalah memberikan manfaat kepada orang lain, menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama, nafi’un li ghairihi.

Karenanya, Hasan Al Banna memasukkan nafi’un li ghairihi ini sebagai salah satu karakter sifat, muwashafat, yang harus ada pada diri seorang Muslim.

Siapapun Muslim itu, di manapun ia berada, apapun profesinya, ia memiliki orientasi untuk memberikan manfaat bagi orang lain.

Seorang Muslim bukanlah manusia egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia juga peduli dengan orang lain dan selalu berusaha memberikan manfaat kepada orang lain

Matinul Khuluq

By : Ave Ry


Matinul khuluq (Akhlaq yang kuat) merupakan akar dari akhlaqul karimah. Kekuatan akhlaq yang berasal dari penerapan tauhid dalam diri, kemudian terjewantahkan menjadi akhlaqul karimah. 


Seorang manusia dibentuk untuk memiliki sikap dan sifat selayaknya manusia. Misalnya, marah ; Seorang Muslim yang marah ketika ajaran Islam dihinakan, hukum Allah ditelantarkan, jelas memiliki akhlaq yang kuat.

Permasalahan tidak menjadi sempit ketika kita tempatkan masalah pada porsinya. Ada alasan dan cara yang menjadi variabel selain dari emosi. Matinul khuluq membawa kita untuk berakhlaq sesuai dengan kondisi dan keadaan. Karena manusia memang bukan malaikat.

Ketika bicara mengenai akhlaqul karimah, kita bicara mengenai implementasi semata, bagaimana berakhlaq secara umum dengan baik. Kenyataan sangat berbeda.

Contoh matinul khuluq adalah ketika Nabi Ibrahim 'alaihissalam ketika beliau berhadapan dengan ayah dan kaumnya. Penuh dengan permusuhan terhadap kemusyrikan. Tidak ada yang menyatakan bahwa akhlaq Nabi Ibrahim ketika itu sebagai akhlaq yang tercela. Bahkan Allah memuji dan perintahkan kita untuk meneladaninya.

Akhlaqul karimah adalah hal yang baik, namun tidaklah cukup. Matinul khuluq meliputi akhlaqul karimah dan keutuhan dalam tauhid.

Mengapa demikian? Karena akhlaqul karimah menjadikan kebaikan dan nilai-nilai manusiawi sebagai parameter. Seorang pendeta bisa berakhlaq yang baik.Namun matinul khuluq menjadikan tauhid sebagai barometer penilaian dan timbangan baik atau buruk. Kepribadian bertauhid yang utuh.

Rasulullah pernah meluruskan pemahaman mengenai pepatah Arab jahiliyah, “Bantulah saudaramu baik ketika ia benar maupun salah.” Mengenai peribahasa itu, Rasul meluruskan membantu saudara dalam kebaikan adalah dengan mendukungnya semampu kita. 

Lalu sahabat menanyakan, “Kami mengerti bagamana membantu dalam kebaikkan, namun bagamana (maksud) membantunya dalam kemaksiatan?”

Rasul menjawab, “Dengan mencegahnya.”

Inilah matinul khuluq. Ketika kita tetap melangkah sesuai dengan tuntunan tauhid sebagai timbangan.

Akhlaqul karimah akan menghentikan kita ketika keadaan membutuhkan tindakan yang tegas, konfrontasi misalnya, namun matinul khuluq tidak.

Salimul Aqidah

By : Ave Ry
Seberapa bersih aqidah kita? Tidak mendatangi peramal, tidak meminta bantuan ‘orang pintar’ dan tidak bergantung pada hal atau benda tertentu sebagai kaifiat. Secara kasat mata mungkin hal-hal seperti berikut tadi sudah tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan seorang muslim saat ini.

Namun ternyata, belum tentu semua bagian tadi ditinggalkan. Dengan menggunakan dalih perantara, masih banyak sebagian dari kita yang tidak sadar telah mengotori aqidahnya.

Contohnya, para remaja masih senang membaca aneka zodiak ringan, sebagian tetua menyarankan anak mereka yang baru melahirkan untuk membawa beberapa perlengkapan tertentu seperti ; gunting, bawang putih, dll. Atau masih ada pula yang percaya bahwa seseorang dapat menggandakan uang, luar biasa bukan?

Jika kita pertanyakan tentang perbuatan mereka itu pasti mereka akan berkata, “Ini merupakan bagian dari usaha” atau para remaja akan menjawab, “Ini buat seru-seruan aja”.

Merujuk kepada definisinya, Aqa’id adalah perkara-perkara yang hati kita membenarkannya, jiwa menjadi tenteram karenanya, dan ia menjadikan rasa yakin pada diri kita tanpa tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.

Sehingga Salimul Aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan- ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah,

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah Tuhan Semesta Alam” Al-An’aam : 162

Maka segala usaha haruslah bersandar kepada Allah saja, baik itu hasil maupun prosesnya. Tidak dibenarkan seorang muslim menggunakan perantara-perantara bagi usahanya dengan sesuatu yang bukan menjadi bagian dari ketentuan-Nya, atau malah sesuatu yang dilarang-Nya,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar"” An-Nisaa’ : 48

Prof. Dr. Sayyid Sabiq dalam Aqidah Islamiyah mengatakan, “Aqidah ini merupakan jiwa bagi setiap individu. Ia bisa hidup dengan baik, bila kehilangan aqidah ini, maka ruhaninya mengalami kematian. Aqidah adalah cahaya yang apabila manusia tidak mendapatkannya, maka ia akan tersesat dalam berbagai kancah kehidupan, dan mengalami kebingungan di berbagai lembah kesesatan”

Berlari Menuju Allah

By : Ave Ry

Dalam bahasa Arab, kata al-firar yang berarti berlari biasanya digunakan untuk mengungkapkan lari dari sesuatu yang ditakuti. Lari karena dikejar singa, anjing gila, atau musuh misalnya. Untuk lari mengejar sesuatu digunakan kata yang lain : jara-yajri-jirayah.

Apabila seseorang berlari karena dikejar singa, dia pasti akan fokus kepada upaya penyelamatan dirinya. Dia tidak akan peduli jika—misalnya—ada duri atau paku yang menusuk kakinya. Dia tidak akan peduli juga jika—misalnya—seseorang memintanya untuk berhenti dan akan diberi setumpuk harta. Dia tetap akan berlari sekencang-kencangnya.

Dengan firman-Nya ini Allah memerintahkan kita semua supaya berlari menuju Allah. Berlari menuju kepada-Nya seperti bila kita berlari dikejar singa. Berlari kencang tanpa mempedulikan rasa sakit yang mungkin dirasa raga atau terpedaya oleh bujuk-rayu dunia.

Dalam karya monumentalnya, Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim al-Jawziyah menerangkan, langkah awal dari berlari kepada Allah ini meliputi tiga hal. Berlari dari kejahilan menuju ilmu, berlari dari kemalasan menuju semangat, dan berlari dari sesaknya dada menuju kelapangannya.

Dari kejahilan menuju ilmu

Orang yang jahil menurut Islam bukan hanya orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang sesuatu. Orang yang pengetahuan dan cakrawala berpikirnya luas pun bisa menjadi orang yang jahil. Menurut Islam, ilmu meliputi pengetahuan tentang kebenaran dan mengamalkan kebenaran yang telah diketahui itu.

Ketika Nabi Yusuf as. dipaksa untuk berbuat nista, beliau—sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam surat Yusuf: 33—mengadu, “Wahai Rabb-ku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Jika Engkau tidak menghindarkan aku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil.”

Mengetahui bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang buruk tidak mengeluarkan seseorang dari kejahilan sampai dia menjauhinya. Demikian pula dengan perintah dan larangan Allah yang lain. Mengetahui bahwa shalat itu wajib tidak mengeluarkan seseorang dari kejahilan sampai dia menegakkannya.

Amru bin Hisyam yang sebelum datangnya Islam digelari dengan Abul Hakam karena kecerdasan dan ketinggian ilmunya, mendapatkan gelar Abu Jahal karena tidak mau mengikuti kebenaran. Amru bin Hisyam pasti memahami dan dapat mencerna semua yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Tetapi karena ilmunya tidak diikuti dengan pengewantahan, dia tidak dianggap sebagai orang yang berilmu. Sebaliknya, dia dinyatakan sebagai orang yang jahil.

Dari kemalasan menuju semangat

Ibnul Qayyim menyatakan bahwa sifat malas, menunda-nunda amal, berandai-andai, dan yang sejenis dengannya sangat berbahaya bagi seseorang. Kemalasan laksana pohon yang hanya membuahkan kerugian dan penyesalan.

Ada beberapa ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan agar kita menerima semua perintah Allah dengan segenap kesungguhan, penuh semangat. Allah berfirman,

خُذُوا مَا آَتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Peganglah dengan teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 63)

وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ

“Telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh itu segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu. Maka (kami berfirman), ‘Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang pada (perintah-perintah-Nya) dengan sebaik-baiknya!’.” (Al-A’raf: 145)

Setiap muslim mesti berlari meninggalkan rasa malasnya menuju keteguhan dan semangat yang senantiasa berapi-api dalam segala kebaikan.

Dari dada sesak menuju dada lapang

Berikutnya hendaklah setiap muslim meninggalkan dadanya yang sesak sesegera mungkin menuju dada yang lapang. Sesaknya dada seseorang biasa datang saat dia khawatir dan gundah mengenai kemaslahatan dirinya, hartanya, atau keluarganya. Dia murung dan menekuknya wajah apabila ada ancaman terhadap diri, harta, atau keluarganya.

Ancaman yang hakiki adalah ancaman yang datang dari Allah. Ancaman yang datang hanya jika seseorang melanggar aturan-aturan-Nya. Ancaman yang datang dari selain Allah hanyalah ancaman yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan ancaman-Nya.

Sebenarnya jika seseorang tsiqqah (percaya) kepada Allah, bertawakal dengan benar, dan berbaik sangka kepada-Nya setelah berusaha untuk bertakwa kepada-Nya dg segenap kemampuannya, niscaya dadanya akan lapang. Ini sudah dijanjikan Allah. Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar (dari semua persoalan) baginya dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya “ (Ath-Thalaq: 2-3)

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Ath-Thalaq: 3)

Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Allah berfirman,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي

“Aku ada pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersama-Nya jika Dia berdoa kepada-Ku.”
Maka mari kita berlomba berlari menuju Allah. Wallahul muwaffiq. 



Artikel ini ditulis oleh ustadz Imtihan, dan dipublish berdasarkan izin beliau.

Mensuci Hati, Berlurus Pikir

By : Ave Ry

“Untuk mencapai cara berpikir yang lurus, cara berpikir yang benar, jauhkan dirimu dari hawa nafsu. Karena hawa nafsu lah yang membuat manusia tidak bisa berpikir dengan lurus.”

~ Syaikh Sayyid Syaltut

Dan berapa banyaknya para pengusung Liberalisme yang berdiaspora dan masuk kedalam sel-sel berbagai aliran sesat dan perilaku menyimpang berlindung dibalik tameng akademis/keilmuwan mereka?

Namun sungguh disayangkan, anugrah yang dikaruniakan Tuhan pada mereka malah membuat mereka menjadi agen-agen yang bertugas membelokkan manusia dari kerangka berpikir yang lurus.

Hawa nafsu memiliki peran yang teramat besar dalam menggelincirkan manusia dari fithrahnya. Terlebih lagi jika para pengusungnya menggunakan dalil-dalil agama untuk menambal kesalah-tafsiran mereka.


Allah Subhana wa ta’ala telah memperingatkan manusia bahwa hanya orang-orang yang suci lah, bersih hati dan pikirannya, yang dapat tersentuh oleh Al-Qur’an.



“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”


(Al-Waqi’ah: 79)



Maka tidak ada jalan lain, kesucian hati dalam rangka menopang cara berpikir yang lurus dan benar sesuai kehendak Sang Pencipta adalah hal yang mutlak dilakukan.



Pada tempat lain Allah Subhana wa ta’ala membimbing kita agar meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.



(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.”

(Ash-Shaffat: 84)



Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata di dalam tafsirnya, “Yakni dia datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat dari kesyirikan, syubhat-syubhat, dan syahwat-syahwat yang bisa menghalanginya dari mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Apabila hati seorang hamba telah selamat dari hal-hal di atas, maka hati tersebut akan terhindar dari segala keburukan-keburukan, dan sebaliknya hati tersebut akan memunculkan kebaikan-kebaikan. Dan di antara bentuk keselamatan hati adalah bahwa ia selamat dari perbuatan menipu daya manusia, serta selamat dari hasad dan dari berbagai bentuk akhlak yang tercela.”



Semoga Allah Subhana wa ta’ala menjaga kita dari hawa nafsu yang tercela.



“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar.” (HR. Tirmidzi no. 3591)

Aku Tidak Lebih Baik dari Kalian

By : Ave Ry

ﺍﻟﺤَﻤْﺪُ ﻟﻠﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺃَﻇْﻬَﺮَ ﺍﻟﺠَﻤِﻴْﻞَ ﻭَﺳَﺘَﺮَ ﺍﻟﻘَﺒِﻴْﺢَ
“Segala puji bagi Allah yang menampakkan yang baik dan menutupi yang buruk.”

Menjadi seorang Muslim/Muslimah yang telah ter-tarbiyah adalah sebuah beban tersendiri apalagi jika ia berada dalam lingkungan yang penuh dengan keragaman. Sosoknya sedikit banyak akan menjadi sorotan public.

Bagi saya pribadi, hal ini amat berat. Kita secara tidak langsung dituntut untuk bersikap ‘lebih’. Untuk seorang akhwat saya contohkan, ketika ia telah berazzam untuk menutupi tubuhnya dengan penutup sesuai perintah agama lalu ia juga terlihat aktif mengikuti kajian maka orang-orang sekitarnya akan ‘men-stempel’ dirinya dengan cap sesuai persangkaan yang ada pada orang banyak.

Pertanyaan-pertanyaan seputar agama banyak dialamatkan padanya, baik itu dari orang yang mengenalnya dekat maupun dari orang yang memperhatikannya selintas lalu. Kemudian jika ia berada dalam sebuah tempat ibadah umum dan akan melaksanakan shalat wajib maka tetiba ia didaulat untuk mengimami. Dan masih banyak contoh yang lain.

Salah satu karib saya beberapa kali mengeluhkan hal ini, “Aku tidak sebaik apa yang kalian pikirkan” begitu curhatnya. Dalam hati sayapun mengamini, bahkan saya lebih dalam lagi. Perasaan tidak pantas adalah perasaan yang mungkin sulit dimengerti bagi sebagian orang. Ini bukan persoalan minder, rendah diri atau yang semacam itu namun perasaan yang penuh dengan kesadaraan bahwa diri yang seringkali dijadikan percontohan, panutan tidak lebih dari seorang manusia yang baru saja meniti, belajar sambil mengamalkan dengan amalan yang jika tidak ada maka ia amat sedikit sekali.

Malu, mungkin kata ini dapat sedikit menggambarkan. Andai saja orang lain mengetahui keburukan-keburukan yang ada, dan yang terpenting adalah malu kepada-Nya. Bagaimana dapat mengangkat wajah nanti dihadapan-Nya? Secuil amal yang terbalut dengan selimut dosa.

Maka, dengan rasa malu yang tersembunyi, beban itu sudah seharusnya berganti. Ya, beban yang bertransformasi menjadi tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menggiatkan diri lebih baik lagi. Bukankah Rasulullah berpesan, “Bertakwalah kamu kepada Allah dimana dan kapan saja kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu menghapus keburukan itu, dan pergaulilah manusia dengan ahlak yang baik” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi, al-Bazar dan Abu Nu’aim dari Abu Dzar al-Ghiffari)

ﺃَﻟﻠﻬُﻢَّ ﻻَ ﺗُﺆَﺍﺧِﺬْﻧِﻲْ ﺑِﻤَﺎ ﻳَﻘُﻮْﻟُﻮْﻥَ، ﻭَﺍﻏْﻔِﺮْﻟِﻲْ ﻣَﺎﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮْﻥَ، ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻨِﻲْ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﻈُﻨُّﻮْﻥَ
“Ya Allah, jangan Engkau tuntut aku dengan apa yang mereka katakan (ucapkan), dan ampunilah aku atas apa-apa yang mereka tidak ketahui dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangkakan.”

Mengapa Engkau Malas Mencari Ilmu?

By : Ave Ry

Pertanyaan mengapa engkau malas mencari ilmu, dan terkadang mengapa engkau malas menuju majlis ilmu atau mengapa engkau begitu keberatan menuju majlis ilmu?

Pertanyaan yang tak urung membuat Gen-Q gusar. Tiga pertanyaan berbeda dengan alasan besar yang berbeda pula. Menurut pengalaman, mengapa seseorang malas mencari ilmu adalah karena ‘cuek’, tidak begitu memperdulikan seberapa besar pengetahuannya akan agama bertumbuh.

Pertanyaan mengapa malas menuju majlis ilmu, sebagian besarnya adalah karena kesibukan seseorang akan dunianya. Sedangkan seseorang yang begitu keberatan menuju majlis ilmu memiliki alasan yang lebih spesifik, utamanya adalah jarak yang menyita waktu, tenaga dan harta. Atau bagi wanita misal, ia keberatan karena jauhnya jarak majlis yang mengharuskan ia safar tanpa didampingi mahramnya.

Pentingnya ilmu sudah barang tentu telah diketahui banyak ummat Muslim dimanapun ia berada. Namun, berbagai alasan menjadi dinding penghalang bagi mereka yang masih malas dan lalai dalam menjalankannya. Padahal, Rasulullah pernah bersabda :

“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam agama.” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Mashaa Allah, tidakkah kita menginginkan kebaikan dari Sang Maha Pemberi? Lantas bagaimana cara seseorang akan faqih dalam agamanya jika ia tidak menempuh salah satu cara terbaiknya? Yaitu dengan cara menempuh jalan untuk mencari suatu ilmu.

”Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari suatu ilmu. Niscaya Allah memudahkannya ke jalan menuju surga”. (HR. Turmudzi)

Dan termasuk ke dalam makna menempuh jalan untuk mencari ilmu; menempuh jalan hakiki (yang sesungguhnya), yaitu berjalan dengan kaki atau menggunakan kendaraan menuju majelis para ulama.

Masuk juga ke dalam makna ini, menempuh jalan maknawi yang mengantarkan untuk menghasilkan ilmu; seperti menghapal, mempelajari, mengulang-ulang, menelaah, menulis, memahami dan hal lain yang termasuk jalan-jalan maknawi yang bisa menghantarkan kepada ilmu.

Dan sabda Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam –, “Niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”

Bisa bermakna, bahwa Allah memudahkan baginya ilmu yang dia cari dan dia tempuh jalannya. Allah akan memudahkan ilmu baginya. Karena ilmu adalah jalan yang menghantarkan kepada surga. Dan ini seperti firman Allah ta’ala,

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” Al-Qamar : 17

Dan terkadang Allah memudahkan bagi penuntut ilmu, ilmu-ilmu lain yang akan bermanfaat baginya, dan menjadi penghantar kepada surga. Sebagaimana telah dikatakan,

“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang diketahuinya, Alloh akan memberikan kepadanya ilmu yang belum dia ketahui.” (Faidhul Qadir karya al-Munawi 4/510-511, dan Kasyful Khofaa` karya al-‘Ajluni 2/347)

Juga sebagaimana telah dikatakan dala tafsir Ibnu Katsir, “Pahala kebaikan, adalah kebaikan yang lain.” Hal ini telah ditunjukkan oleh firman Alloh ta’ala,

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” Maryam : 17

Dan bahkan, jika masih ada diantara ummat Muslim yang masih lalai dan malas dalam mencari ilmu, maka Syaikh Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithi memberikan nasihat yang sangat berharga :

Nasihatku tinggalkanlah kemalasan dan kelalaian. Jika terjadi padamu, maka paksakanlah. Jika seseorang tulus menjalaninya... dia tidak akan malas dan lalai. Bukankah ada perkataan, “Ditempat ini akan ada 1000 riyal untukmu jika engkau mampu menunggu beberapa saat. Demi Allah, kamu harus menunggunya sampai tiba hari kiamat! Jika keadaannya demikian, janganlah engkau tidur dan bermalas-malasan.

Apa yang terjadi padamu? Bagaimana dengan ganjaran Allah yang tak ternilai?
Malas dan lalai seperti apa yang menghampirimu? Kemalasan dan kelalaian tidak akan terjadi, jika engkau renungkan apa yang ada disisi Allah.

Kemalasan dan kelalaian yang seperti apa saat seseorang berada dalam Majlis Ilmu? Sementara dia tahu para malaikat mengelilinginya.

Kemalasan dan lalai yang seperti ketika ia duduk dalam sebuah Majlis, sementara ia sedang berurusan dengan Rajanya raja. Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir! Seorang hamba yang berpaling dari dunia dan mendekat kepada Tuhannya!

Kemalasan dan kelalaian seperti apa yang menghampirimu? Di saat engkau memegang Kitabullah dalam genggaman?

“Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan. Yang ditinggikan lagi disucikan. Di tangan para penulis (malaikat)”. Abasa : 13-15

Kemalasan dan kelalaian seperti apa yang menghampiri? Sementara engkau sedang membuka Kitabullah? Yang di dalamnya mengandung berita dan kisah yang membuat seseorang tidak bisa tidur. Yang membuat airmata mengalir dan membuat hati khusyu’.

Kemalasan dan kelalaian seperti apa yang menghampirimu? Dikala engkau bersungguh-sungguh dan tidak bermain-main didalamnya. Jika engkau menempuh kebenaran maka kebathilan pun lenyap.

Kemalasan dan kelalaian yang seperti apa? Itu karena kita tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Malas dan lalai, menghampiri karena kita tidak mengerti ada dimana kita!

Seseorang mendatangi Majlis Ilmu, namun dia tidak sadar bahwa Allah mendengar dan melihatnya! Seandainya engkau tahu! Apa ada yang lebih baik saat engkau megambil Kitabullah? Seandainya engkau tahu!

Dengan siapakah engkau akan berurusan saat meninggalkan rumah menuju Majlis Ilmu? Seandainya engkau tahu! Dikala engkau bangun diakhir malam, lalu engkau pun letih dan kelelahan. Sementara engkau membaca Kitabullah, atau membaca Sunnah Rasulullah, demi memelihara ummat.

Tahukah engkau bahwa para malaikat turun? Karena engkau melakukan amal sholih. Derajatmu ditinggikan dan pintu-pintu surga terbuka untukmu. Inilah yang menjadi alasan engkau duduk, inilah yang engkau tulis, dengarkan dan membacanya. Yang mengingatkanmu hakikat dunia dan hari kemudian. Inilah yang baca, dengarkan, yang engkau lihat dan pahami. Yang akan meninggikan derajatmu. Yang akan menebus dosa-dosamu.

Apa engkau sadar? Pasa saat engkau tinggalkan rumahmu, engkau pergi menuntut ilmu, engkau tulus pada Tuhanmu dalam mencarinya, dan Allah mengetahui isi hatimu, tida yang engkau harapkan kecuali Dia.

Atau mungkin engkau mungkin pergi karena suatu urusan, atau engkau pergi setelah bangun diwaktu malamnya. Dan engkau pun berkata, “Aku ingin tetapi mencari rid dalam keadaan seperti ini demi mencari ridho Tuhanku”. Lalu engkau pergi menuju majlis ilmu karena Allah tanpa riya’ dan sum’ah, maka Malaikat pun turun, diutus untuk menyaksikan perbuatanmu yang engkau lakukan karena Allah. Ketika tiba di majlis ilu engaku memperoleh kebaikan, derajatmu pun diangkat. Betapa luar biasanya seorang penuntut ilmu, kembali kerumah seperti bayi yang baru lahir.

Begitu besar faidah dan keutamaan dalam mencari ilmu sehingga alangkah sayangnya bagi ummat Muslim yang melalaikannya.

Persoalan kemudian timbul pada wanita Muslimah yang turut dalam mencari ilmu sehingga mengharuskannya untuk safar (bepergian), padahal seorang wanita dilarang safar dalam sehari-semalam jika tidak didampingi mahramnya. Dalam masalah ini, ada dua hal yang diperhatikan, yaitu ;

PERTAMA: 'Urf (pandangan masyarakat setempat) terhadap jarak antara tempat tersebut. Jika mereka menganggap itu bukan termasuk safar maka hukumnya BOLEH. Dan sebaliknya, jika mereka menganggapnya sudah termasuk jarak safar maka hukumnya TIDAK BOLEH. Akan tetapi ketidak-bolehan ini juga tidak secara mutlak, tapi dilihat pada hal selanjutnya.

KEDUA: Melihat pada kondisi wanita tersebut dalam hal pengetahuan dan pemahamannya tentang agama dan juga jenis Ilmu yang akan dikaji dalam majlis ta'lim tersebut. Yakni jika ia seorang awam yang tidak mengerti apa-apa tentang aqidah islam yang benar, dan tata cara beribadah sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya, sementara di rumahnya atau di kampung halamannya tidak ada orang atau majlis ta'lim yang mengajarkan Aqidah Islam yang lurus dan tata cara ibadah kepada Allah dengan benar, sehingga ia tetap terbelenggu oleh kebodohannya jika menetap di rumahnya, maka dalam kondisi seperti ini ia BOLEH atau bahkan sangat dianjurkan untuk keluar dari rumahnya untuk menghadiri majlis ta’lim dalam rangka mencegah mudhorot (bahaya) yang lebih besar, yaitu bahaya yang ditimbulkan oleh kebodohannya tentang agama Islam.

Di dalam sebuah kaedah fiqih disebutkan: idza tazaahamat al-mafsadataani urtukiba adnaahuma. Artinya: "apabila berdesakan (dalam satu waktu) 2 mafsadat (bahaya/kerusakan) maka hendaknya memilih mafsadat yang paling kecil. Dan yang perlu diperhatikan, ketika ia keluar menuju majlis ta'lim hendaknya berpakaian syar'i, tidak memakai wangi-wangian, menjaga adab-adab safar, menjauhi larangan-larangan Allah, dan segera kembali ke rumahnya setelah selesai dari hajatnya.

”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (HR. Ibnu Abdil Barr)

Sumber :
1. Video ceramah oleh Syaikh Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithi
2. Materi kajian Ustadz Washito

Pernikahan Yang Melahirkan Generasi Besar

By : Ave Ry

Wahai pemuda pernahkah terpikirkan oleh kalian untuk apa kita menikah?
Pernikahan sejatinya bukanlah sekedar penghalalan untuk melampiaskan syahwat.
Pernikahan bukan pula sekedar tradisi semata.

Bukan, karena begitu besarnya arti sebuah pernikahan dalam islam Rasulullah menyebut dalam haditsnya sebagai separuh agama.

"Jika seseorang telah menikah, dia telah melengkapi separuh agamanya. Hendaknya dia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang lain." (HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim)

Pernahkah pula terpikir apa obsesi menikah?
Akankah menikah hanya untuk meneruskan keturunan saja?
Untuk mempunyai pasangan yang rupawan?
Untuk menaikkan status sosial?

Jika menikah adalah separuh agama, betapa rendah sekali separuh agama kita jika tujuan pernikahan hanya inginkan kenikmatan dunia.

Dalam sebuah kajian, Ust Abu Fairus mengisahkan pernikahan dengan obsesi besar menuju akhirat menghasilkan generasi besar.

Tersebutlah sebuah kisah yang sangat menarik untuk disimak;

Di wilayah Tikrip negeri Irak tinggal seorang panglima bernama Najmuddiin. Najmuddiin adalah seorang panglima yang memiliki obsesi besar dalam pernikahan. Dirinya mempunyai keinginan menikahi seorang perempuan yang siap melahirkan seorang generasi yang di-didik dengan pendidikan islam, menjadi seorang penunggang kuda, dan menjadi seorang pahlawan yang akan menaklukkan Baitul Maqdis

Sahabatnya Asaduddiin berkata padanya,

"Wahai Najmuddiin saudaraku, kalau mau dan sudi saya akan membantumu meminang Putri Raja, atau Putri Sultan, atau Putri Perdana Menteri."

"Tidak sahabatku, Putri Raja, Putri Sultan atau Putri Menteri tidak ada yang pas buat diriku", tolak Najabuddin.

"Lantas, dimana engkau mendapat perempuan seperti yang engkau inginkan?" Tanya Asaduddiin.

"Andai niatku ikhlas semoga Allah Swt mempertemukan untukku seorang perempuan seperti inginku."

Berlalunya Waktu..

Hari demi Hari..
Minggu ke Minggu..
Hingga Berbulan-bulan..

Perjalanan Najmuddiin belum bertemu sosok perempuan idamannya.

Hingga suatu ketika Najmuddiin mengikuti sebuah kajian dari seorang ulama di majelis masjidnya.

Selepas kajian tanpa di duga ada seorang perempuan yang memanggil syeikh di balik tirai, sontak syeikh kaget dan langsung mendatangi asal suara kemudian bertanya, "Wahai Fulanah, bagaimana pemuda yang telah ku kirim padamu?"

Perempuan itu menjawab, "Wahai Syeikh, pemuda yang engkau kirim kepadaku dia pemuda yang gagah perkasa, tampan rupawan, pemuda yang jika seorang memandangnya akan terpana dan terpesona, tetapi wahai syeikh sungguh pemuda tersebut tidak pantas untukku. Wahai Syeikh sungguh diriku mencari seorang pemuda yang siap memegang tanganku dan membawaku ke syurga Allah Swt dan memberikan diriku keturunan, ku didik dan ajarkan menjadi seorang pemuda yang tangguh, dan dirinya adalah pemuda yang akan menaklukkan Baitul Maqdis".

Mendengar Perkataan perempuan tersebut membuat Najmuddiin terpesona dan teringat obsesinya dalam pernikahan.

"Wahai Syeikh, nikahkan saya dengan perempuan itu", pinta Najmuddiin.

"Wahai Najmuddiin, tahukah engkau dia seorang fakir, dia bukan seorang bangsawan, dia bukan Putri Raja, dia seorang perempuan biasa dikampung ini" Jelas Syeikh.

"Wahai Syeikh, kumohon nikahkan saya dengan dirinya, sungguh cita-cita besar yang ada dalam dirinya ada pada diri saya"

Akhirnya Najmuddiin dan perempuan tersebut menikah.

Inilah taqdir Allah, Dia mengabulkan do'a orang yang shalih yang mengharapkan akhirat untuk bertemu denganNya, doa dua insan yang mengharap keridhoanNya, insan yang menjadikan pernikahan bukan sekedar pemuas syahwat semata.

Dan kelak dari rahim dan tempaan didikan agama yang kuat dari pasangan inilah lahir panglima besar yang dengan pedangnya bisa merebut kembali Baitul Maqdis dari orang-orang salibis, ialah Sang Penakluk Shalahuddin Al Ayyubi.

Jelas sekali dari kisah di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa :

1. Pernikahan adalah langkah untuk mengubah dunia.
2. Ketampanan, kecantikan dan kekayaan bukanlah penentu kesuksesan sebuah pernikahan.
3. Pilihlah pasangan yang baik agamanya, yang dengannya akan menemanimu menikmati indahnya dunia menuju kenikmatan akhirat yang abadi.
4. Dari pasangan yang hebat akan terlahir generasi yang hebat.

Jadi wahai pemuda-pemudi apa obsesi besarmu untuk menikah?
Sudah punya obsesi.. Lantas tunggu apa lagi, kapan akan melengkapi separuh agamamu?

Sederhanakanlah kriteriamu dalam mencari pasangan, rendahkanlah maharmu, pantaskanlah dirimu dan memohonlah kepada Sang Pengatur.


Sumber :
Ust. Abu Fairus, Lc.

Ditulis oleh :
Sahabat Grup ‘Erdogan Lovers’ (Rizqa Kurniati, Adiyat Karim) dengan sedikit perbaikan EYD dan pengayaan alur.

Parfume Istighfar

By : Ave Ry
"Untuk saat ini, parfum paling cocok buat kamu adalah istighfar, karena aroma dosa sudah mulai menyebar kemana-mana"

Tidak sengaja melihat status Ust. Saief Alemdar di beranda Facebook, saya jadi tertarik corat-coret mengabadikan ide beliau di Photoshop CS4, dan jadilah desain amatiran diatas. Well, belakangan ini sedang mulai tertarik belajar desain poster islami, jadi gabung aja di komunitas desainer muslim
Berkata Imam Ibnul Jauzi rahimahullah:
"Berminyak wangilah dengan istighfar, maka akan hilanglah darimu bau busuk dosa. Berminyak wangilah dan hilangkanlah dosamu dengan ucapan 'astaghfirullah wa atubu ilaih' (aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah)
Bahasan kali ini, berkaitan dengan status tadi. Ternyata beliau menyitir perkataan seorang Imam besar, Ibnul Jauzi rahimahullah. Istighfar sebagai pelebur dosa disertai dengan taubat. Tentu sudah tidak terhitung berapa banyak bahasan tentang istighfar. Jadi tulisan ini hanya sebagai peramai saja. 

Teringat pada salah satu kisah yang berkaitan, diriwayatkan melalui Jabir bin Abdullah Al Anshari r.a
Sesungguhnya bau menggunjing bisa tercium ketika zaman Rasulullah SAW. Sebab saat itu sangat jarang pergunjingan. Adapun zaman sekarang sangat banyak pergunjingan yang baunya menusuk hidung, bahkan hampir tak bisa membedakan. Ibaratnya lelaki yang masuk, orang ahli menyamak kulit, dia tidak akan betah dengan baunya yang busuk, namun penghuni sana terbiasa dengan keadaan kebusukan kulit, sebab bau itu terlalu sering memenuhi hidungnya. Demikianlah perumpamaan menggunjing pada zaman kita.

Masih dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, kami pernah bersama dengan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba tercium bau busuk. Maka Beliau bertanya, 
“Tahukah kalian, bau apakah ini?. Ini adalah bau orang-orang yang suka mengghibah kaum mukminin” (HR. Bukhori)
Kisah diatas bisa juga kita gunakan atas dosa-dosa yang lainnya. Lihat saja sekeliling kita, begitu banyak maksiat dikerjakan, dosa pun bertebaran. Bahkan di zaman ini manusia sudah tidak lagi malu untuk menampilkan ke-maksiatan di muka umum. Acara ‘ghibah’ menjadi komoditas yang mempunyai daya jual tinggi, acara kemusyrikan sudah tidak lagi tabu, acara yang mengajak pada perzinaan malah disemarakkan dengan qasidahan, astaghfirullah hal ‘Azhim. 

Hal ini sungguh “Massif, terorganisir dan sistematis!” begitu ucap Bapak Prabowo.

Ya, berbagai acara yang mengandung kemaksiatan ini terlihat begitu massifnya. Lihat saja acara “Dangdut yang diselingi lomba qasidahan” yang ‘itu’. Sebelum itu acara serupa ini ada juga kan, acara berjoget ria sepanjang malam di tiap harinya. Yang lebih dulu lagi ada juga, acara joget-jogetan juga, sampai-sampai ada drama pencekalan artisnya segala. Tapi ini malah jadi strategi pemasaran yang luar biasa, di cekal satu malah tumbuh seribu!

Dan yang memprihatinkan dari semua itu, acara-acara tersebut ditonton, disimak baik-baik, ditiru oleh berbagai kalangan, anak-anak, remaja, ibu-ibu bahkan ‘kaum terpelajar’ pun tidak ketinggalan.

Betapa sistematisnya... acara yang sama di daur-ulang over and over. Dan begitu terorganisir karena menyebar di berbagai stasiun televisi. Sungguh, kita benar-benar harus ‘menyemprotkan’ parfume istighfar sebanyak-banyaknya pada tubuh kita! (Mohon maaf apabila kata ‘semprot’ kurang sopan, karena saya tidak menemukan kata bandingannya selain kata spray dalam bahasa Inggris).

Sobat, beristighfarlah! Tidak akan merugi orang yang beristighfar. Jangan pernah melazimkan pemikiran, “Aku berbuat dosa terus-menerus, jadi percuma beristighfar”. Ucapan demikian hanya berasal dari orang-orang yang putus asa. Sebaliknya, “Aku beristighfar terus-menerus, walaupun aku berbuat dosa lagi dan lagi”
“Bukanlah orang yang terus berbuat dosa orang yang meminta ampunan (beristighfar) walaupun ia kembali melakukan dosa dalam sehari sebanyak seratus kali.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi)
Namun jangan di mudah-mudahkan ya dalam memahami hadist, maksudnya beristighfarlah, bertaubat, lalu meng-azzamkan diri untuk tidak mengulangi dosa tersebut. Perkara dikemudian hari berulang lagi, ya bertaubat lagi!
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari agar bertaubat orang yang berbuat jahat di siang hari dan Dia membentangkan tangan-Nya pada siang hari agar bertaubat orang yang berbuat jahat di malam hari, sehingga matahari terbit dari barat (Kiamat).” (HR. Muslim).


Berkah Dalam Musibah

By : Ave Ry
Pernah nggak sih sobat Gen-Q berpikir “Orang jahat itu kenapa hidupnya lama terus baik-baik aja, sedangkan orang baik itu lebih cepat mendahului dan banyak cobaannya”

Kalau Gen-Q pernah berpikir begitu. Ternyata, baru siang ini mendapat jawabannya. Tepatnya ketika mendengar untaian nasihat Ust. Abu Yahya Badrussalam. Beliau membawakan sebuah hadist dari Anas bin Malik r.a

“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hambaNya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hambaNya, Allah akan membiarkan dosanya (di dunia) sampai Allah membalasnya pada hari kiamat.” (HR At Tirmidzi dan Al Hakim)

Dalam tausyahnya, beliau memerinci tanda-tanda seorang hamba yang diinginkan Allah Subhana wa ta’Ala kebaikan baginya, yaitu :

1. Dibukanya pintu amal sebelum kematian menjelang.

“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan jadikan ia beramal.” Dikatakan, “Apakah dijadikan beramal itu?” Beliau bersabda, “Allah bukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya ridla kepadanya.” (HR Ahmad)

2. Dipercepat sanksinya di dunia.

“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hambaNya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hambaNya, Allah akan membiarkan dosanya (di dunia) sampai Allah membalasnya pada hari kiamat.” (HR At Tirmidzi dan Al Hakim dari Anas bin Malik)

3. Diberikan cobaan.

“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah akan memberinya musibah.” (HR Ahmad dan Al Bukhari dari Abu Hurairah)

Cobaan pasti akan menerpa kehidupan mukmin, karena itu janji Allah:

“Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.” (Baqarah : 155)

Cobaan itu untuk menggugurkan dosa dan mengangkat derajat.

“Senantiasa ujian itu menerpa mukmin atau mukminah pada jasadnya, harta dan anaknya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR Ahmad)

4. Difaqihkan dalam agama.

“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam agama.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Kefaqihan adalah pemahaman yang Allah berikan kepada seorang hamba. Pemahaman yang lurus terhadap Al Qur’an dan hadits berasal dari kebeningan hati dan aqidah yang shahih. Karena hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan dapat memahami Al Qur’an dan hadits dengan benar. Sebagaimana yang dikabarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kaum khawarij yang membaca Al Qur’an:

“Akan keluar suatu kaum dari umatku, mereka membaca Al Qur’an. Bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan Al Qur’an mereka, shalat dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan shalat dan puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an dan menyangka bahwa Al Qur’an mendukung mereka padahal Al Qur’an tidak mendukung mereka.” (HR Muslim)

Itu semua akibat kedangkalan ilmu dan mengikuti hawa nafsu, sehingga mereka tidak diberikan pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan hadits. Mereka mengira bahwa ayat Al Qur’am mendukung perbuatan mereka, padahal tidak demikian. Tentu yang memahaminya adalah orang-orang yang Allah faqihkan dalam agama dan selamatkan dari hawa nafsu.

5. Diberikan kesabaran.

“Tidaklah seseorang diberikan dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Kesabaran dalam keimanan bagaikan kepala untuk badan. Badan tak akan hidup tanpa kepala, demikian pula iman tak akan hidup tanpa kesabaran. Untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya amat membutuhkan kesabaran. Karena Iblis dan balatentaranya tak pernah diam untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.

“Tidak ada yang diberikan (sifat-sifat yang terpuji ini) kecuali orang-orang yang sabar, dan tidak ada yang diberikannya kecuali orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushilat : 35)
So, bagi sobat yang saat ini tengah ditimpa musibah, jangan dulu mengeluh, La Tahla! Bisa jadi Allah sedang memberikan kebaikan yang banyak kepada kita dengan musibah tersebut, tapi dengan berbekal kesabaran yang baik dalam melaluinya tentu. Semoga dalam musibah yang tengah kita hadapi mendatangkan keberkahan Allah dalam kehidupan kita.
 
"Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang Engkau inginkan kebaikan padanya, beri kami kesabaran untuk menjalani perintahMu dan menjauhi laranganMu, beri kami kesabaran dalam menghadapi musibah yang menerpa, beri kami kefaqihan dalam agama dan bukakan untuk kami pintu amal shalih sebelum wafat kami"



Sumber : Ust. Abu Yahya Badrussalam, Lc (Rekaman Radio Rodja)




Taqwa-Nya Tuh Disini, Didalam Hatiku

By : Ave Ry
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: ”…taqwa itu disini, seraya menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali…” (HR. Muslim)
Apa yang dimaksudkan Rasulullah ialah taqwa itu tempatnya di lubuk hati, bukan di ujung lidah, sebab apa yang diucapkan oleh lidah belum tentu sama dengan apa yang bersemayam di hati.

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” (HR. Muslim)

Ibnu Daqiq Al ‘id -rahimahullah- menjelaskan

Maknanya, amalan dhohir (yang tampak) belum tentu dapat menghasilkan ketaqwaan, namun ketaqwaan itu adalah apa yang terdapat di dalam hati dari pengagungan, khasy-yah (rasa takut yang disertai pengagungan), mendekatkan diri kepada Allah dan hati yang merasa diawasi Allah ta’ala yaitu dengan menyadari bahwa Allah melihat dan meliputi segala sesuatu. Dan makna melihat hati-hati kalian –wallahu a’lam- adalah melihat harapan dan persangkaan, dan hal itu semua dilakukan dengan hati.

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini terdapat segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk pula seluruh anggota tubuhnya. Segumpal darah yang aku maksudkan adalah hati” (HR. Bukhari)

Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- mengatakan: “Taqwa kepada Allah ta’ala itu letaknya di hati, jika hatinya bertaqwa maka anggota badannya juga.”

Hadist ini bermaksud segala amal lahiriah manusia harus diliputi taqwa, bertempat di lubuk hati, seperti meninggikan syi’ar agama Allah, menyimpan perasaan takut kepada Allah, menjaga diri dari kemurkaan-Nya.

Kata taqwa mengandung pengertian yang berbeda-beda di kalangan ulama. Namun semuanya bermuara pada satu pengertian, yaitu seorang hamba melindungi dirinya dari kemurkaan Allah ‘Azza wa Jala dan juga siksa-Nya. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang-Nya.

Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Asal taqwa adalah seorang hamba membuat pelindung yang dapat melindungi dirinya dari hal-hal yang ditakuti”.

Ketaqwaan seorang hamba kepada Rabbnya adalah dia melindungi dirinya dari hal-hal yang dia takuti, yang datang dari Allah berupa kemurkaan dan adzab-Nya, yaitu dengan melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya.

Hasan al-Bashri berkata,

“Sifat taqwa tetap melekat pada diri orang-orang yang bertaqwa selama mereka meninggalkan perkara-perkara yang halal karena mereka takut terjerumus kedalam perkara-perkara yang haram”

Termasuk Taqwa yang sempurna adalah melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal yang diharamkan dan syubhat. Dan kadangkala termasuk di dalamnya juga melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) dan meninggalkan yang makruh (tidak disukai).

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, at taqwa adalah meninggalkan yang diinginkan oleh hawa nafsumu karena engkau takut (kepada Dzat yang engkau takuti).”

Sementara itu Ibnu Qayyim rahimahullah menyatakan,

“Hakikat Taqwa adalah menaati Allah atas dasar iman dan ihtisab, baik terhadap perkara yang diperintah ataupun yang dilarang. Maka, dia melakukan perintah itu karena imannya terhadap yang diperintahkan-Nya dan disertai dengan pembenaran terhadap janji-Nya, dan dengan imannya itu juga ia meninggalkan yang dilarang-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya.”

Derajat ketaqwaan seseorang itu bertingkat tingkat. Ada yang sudah bisa sampai menjauhi hal – hal yang mubah karena takut syubhat, ada yang baru bisa sampai menjauhi hal – hal yang makruh. Yang paling rendah, menjauhi hal – hal yang haram, walaupun masih belum bisa menjauhi hal – hal yang makruh apalagi yang mubah. Maka bersyukurlah bagi yang telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari yang lain dan bersungguh-sungguhlah untuk terus menjaga taqwa hingga ajal menjemput dengan minta pertolongan kepada Allah ta’ala.

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At Taghobun : 16)



Sumber :
1. Mahad IB.blogspot.com
2. Muslimah.or.id

Muslimah & Keindahan

By : Ave Ry
 Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan ( HR. Muslim)
Sesungguhnya Allah itu suka melihat nikmat yang Dia berikan kepada hamba-Nya (HR. Muslim)

Di dalam kitab as-Sunan disebutkan satu riwayat dari al-Ahwash al-Jusyami, ia berkata;

“Nabi pernah melihatku memakai pakaian lusuh, lantas beliau bertanya: ‘Bukankah kamu mempunyai harta?’ Aku menjawab: ‘Ya’. Beliau bertanya lagi: ‘Apakah jenis hartamu itu?’ Aku menjawab: ‘Dari jenis unta dan kambing’. Kemudian beliau bersabda: ‘Hendaklah nikmat dan kemulian-Nya kepadamu itu diperlihatkan’.” (HR. Tirmidzi)

Allah senang melihat wujud nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya. Sebab, memperlihatkan nikmat Allah merupakan salah satu keindahan yang dicintai-Nya dan sekaligus bentuk syukur hamba atas nikmat yang diberikan kepadanya.

Syukurnya hamba itu merupakan keindahan bathin. Dengan kata lain, Allah senang melihat keindahan lahir, yaitu wujud nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba-Nya, dan keindahan bathin berupa rasa syukur hamba kepada-Nya.

Oleh sebab kecintaan-Nya pada keindahan, Allah menurunkan pakaian dan perhiasan kepada para hamba-Nya untuk memperindah penampilan lahir mereka, serta pakaian taqwa untuk memperindah bathin mereka.

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa, itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Al-A’raaf : 26)

Seorang muslim ataupun muslimah yang berhias sesuai ketentuan Islam, maka sesungguhnya telah menegaskan jati dirinya sebagai mukmin ataupun muslim. Mereka telah menampilkan diri sebagai sosok pribadi yang bersahaja dan berwibawa sebagai cermin diri yang konsisten dalam berhias secara syar'i.

Di samping itu dengan dandannya yang telah mendapatkan jaminan halal secara hukum. Sehingga apa yang sudah dilakukan akan menjadi motivasi untuk menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesamanya. Tidak menimbulkan keangkuhan dan kesombongan karena dandanan (hiasan) yang dikenakan, karena keangkuhan dan kesombongan merupakan perangkap syaithon yang harus dihindari.

Berhias secara Islami akan memberikan pengaruh positif dalam berbagai aspek kehidupan, karena berhias yang dilakukan diniatkan sebagai ibadah, maka segala aktivitas berhias yang dilakukan seorang muslim, akan menjadi jalan untuk mendapatkan barokah dan pahala dari al-Kholik. Namun sebaliknya apabila seseorang dalam berhias (berdandan) mengabaikan norma Islam maka segala hal yang dilakukan dalam berdandan, akan menjadi pendorong untuk melakukan kemaksiatan kemungkaran bahkan menjadi sarana memasuki perangkap syaithon yang menyesatkan.

Sejak awal agama Islam telah menanamkan kesadaran akan kewajiban pemeluknya untuk menjaga sopan santun dalam kaitannya dengan berhias ataupun berdandan, dengan cara menentukan bahan, bentukm ukuran dan batasan aurat baik bagi pria ataupun wanita.

Berhias merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut tuntutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan dalam berhias menjadi tuntutan yang terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan kegiatan berhias atau berdandan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keinginan mengembangkan berbagai model menurut fungsi dan momentumnya, sehingga berhias dapat menyatakan identitas diri seseorang.

Dalam Islam diperintahkan untuk berhias yang baik, bagus, dan indah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa, perhiasan tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berhias, yaitu mempercantik atau memperelok diri dengan dandanan yang baik dan indah. Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat, maka seyogyanya perhiasan yang kita pakai itu haruslah yang baik, bersih dan indah (bukan berarti mewah), karena mewah itu sudah memasuki wilayah berlebihan.

"Hak anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan, minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (Al-A'raf : 31)

Islam mengajak manusia untuk hidup secara wajar, berpakaian secara wajar, berhias secara lazim, jangan kurang dan jangan berlebihan. Karena itu setiap pribadi sepatutnya tidak menyombongkan diri, tidak angkuh, tetapi tetap sederhana dan penuh kebersahajaan sebagai wujud konsistensi terhadap ajaran Islam.


Sumber :
Fawaidul Fawaid, Ibnul Qayyim Al-Jauzziyah
Menjaga Akidah dan Akhlak, Roli Abdul Rahman - M. Khamzah


- Copyright © Al-Ihtisyam - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -