Tampilkan postingan dengan label Dakwah. Tampilkan semua postingan
Penat Fii Sabilillah
By : Ave Ry
Kemungkinan saya nubi, jadi ketika tetiba mendapat limpahan tugas yang bejibun, terkaget-kaget!
Diminta buat ini, diminta mengurus itu, diamanahi membimbing ini dan itu.
Yang semuanya bisa dalam satu waktu bersamaan.
Menggerutu, malah kadang kalau sudah terlalu penat sudah saja ditinggalkan semua. Dan dalam hati bersungut-sungut, "Capeek".
'Kebetulan' kemarin pertama kali mengikuti rangkaian Kuliah Dakwah, yang kali itu materi diampu ust. Khoirul Muttaqin, Lc Pembina Majlis Al-Qur'an dan Pesantren Madinatul Qur'an Depok.
Beliau menohok saya betul-betul, "Jika Allah menghendaki kebaikan pada seseorang maka akan Ia buat kita berkarya (beramal)" ungkap beliau menyitir sebuah hadist. Lanjutnya, "Apakah kita mau menjadi orang yang kehidupannya hanya berisi makan, tidur hingga wafat tidak berguna".
Beruntung saya duduk didepan, kalau dibelakang sudah tak bisa ditahan-tahan air mata yang mengembang.
Ya, kemungkinan karena nubi itu, setiap kali penat seringkali saya bersungut-sungut.
Lupa bahwa penat itu adalah sebesar-besar karunia yang diberikan oleh-Nya, karena penat yang dihabiskan Fii sabilillah amat besar nilainya.
اَللّهُمَّ اَحْيِهَا بِمَعْرِفَتِكَ، وَأَمِتْهَا عَلَى الشَّهَادَةِ فِيْ سَبِيْلِكَ
إِنَّكَ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرِ
اَللَّهُمَّ أَمِيْنَ
Salimul Aqidah
By : Ave Ry
Seberapa bersih aqidah kita? Tidak mendatangi peramal, tidak meminta bantuan ‘orang pintar’ dan tidak bergantung pada hal atau benda tertentu sebagai kaifiat. Secara kasat mata mungkin hal-hal seperti berikut tadi sudah tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan seorang muslim saat ini.
Namun ternyata, belum tentu semua bagian tadi ditinggalkan. Dengan menggunakan dalih perantara, masih banyak sebagian dari kita yang tidak sadar telah mengotori aqidahnya.
Contohnya, para remaja masih senang membaca aneka zodiak ringan, sebagian tetua menyarankan anak mereka yang baru melahirkan untuk membawa beberapa perlengkapan tertentu seperti ; gunting, bawang putih, dll. Atau masih ada pula yang percaya bahwa seseorang dapat menggandakan uang, luar biasa bukan?
Jika kita pertanyakan tentang perbuatan mereka itu pasti mereka akan berkata, “Ini merupakan bagian dari usaha” atau para remaja akan menjawab, “Ini buat seru-seruan aja”.
Merujuk kepada definisinya, Aqa’id adalah perkara-perkara yang hati kita membenarkannya, jiwa menjadi tenteram karenanya, dan ia menjadikan rasa yakin pada diri kita tanpa tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Sehingga Salimul Aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan- ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah,
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah Tuhan Semesta Alam” Al-An’aam : 162
Maka segala usaha haruslah bersandar kepada Allah saja, baik itu hasil maupun prosesnya. Tidak dibenarkan seorang muslim menggunakan perantara-perantara bagi usahanya dengan sesuatu yang bukan menjadi bagian dari ketentuan-Nya, atau malah sesuatu yang dilarang-Nya,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar"” An-Nisaa’ : 48
Prof. Dr. Sayyid Sabiq dalam Aqidah Islamiyah mengatakan, “Aqidah ini merupakan jiwa bagi setiap individu. Ia bisa hidup dengan baik, bila kehilangan aqidah ini, maka ruhaninya mengalami kematian. Aqidah adalah cahaya yang apabila manusia tidak mendapatkannya, maka ia akan tersesat dalam berbagai kancah kehidupan, dan mengalami kebingungan di berbagai lembah kesesatan”
Apa Yang Sering Kamu Tulis?
By : Ave Ry
Sosial media, tidak dipungkiri menuntut seseorang untuk mengekspose dirinya lebih. Mulai dari menceritakan hal-ihwal diri dan kesukaannya, ataupun pemikiran.
Tulisan pun bertebaran, hingga dunia media sosial selayak pasar dimana segala rupa yang ingin atau tidak akan terlihat.
Walau tidak sedikit yang hanya bermodalkan copy-paste. Tapi mari kita tinggalkan mereka.
Tulisan, sejatinya adalah buah dari apa yang terbersit dalam jiwa seseorang.
Jika ia memiliki jiwa humanistik yang tinggi, maka kerap ia akan menginformasikan pada kita betapa kemanusiaan saat ini berada di ujung tanduk dengan segala lika-likunya.
Jika ia seorang ahli ilmu, maka janganlah bosan untuk menerima tulisan berbagai ilmu yang ia suguhkan.
Kemudian, ada pula yang memenuhi tulisannya dengan segala perdebatan yang ada. Sehingga ramai orang menuju kepadanya.
Sejenak, mari kita mengingat para ulama-ulama zaman dulu semisal Imam Ath-Thabari, Imam Al-Ghazali, Imam Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Al-Jauzy, Imam Ibnu Katsir, dan Imam Al-Qurthubi yang menghabiskan waktu mereka untuk menulis.
Mereka telah menulis ratusan hingga ribuan judul dan satu judulnya ada yang mencapai ratusan jilid buku. Imam Ath-Thabari, seorang ahli sejarah dan ahli tafsir terkemuka, membiasakan diri selama 40 tahun untuk menulis 40 lembar setiap hari. Setelah kematiannya, murid-muridnya menghitung apa yang ditulisnya setiap hari. Ternyata sejak beliau berusia baligh sampai meninggalnya, terhitung kurang lebih 14 lembar yang beliau tulis setiap hari.
Abu Ishaq asy-Syairazi telah menulis 100 jilid buku. Imam Ibnu Taimiyah menyelesaikan setiap buku dalam waktu satu minggu. Beliau pernah menulis satu buku penuh dalam satu kali duduk. Dan bukunya telah dijadikan referensi oleh lebih dari 1000 penulis.
Imam Ibnu al-Jauzy telah menulis 1000 judul buku dan satu bukunya ada yang mencapai 10 jilid. Kayu bekas penanya bisa dipakai untuk memanaskan air yang dipakai untuk memandikan jasadnya ketika meninggal.
Termasuk semangat yang menakjubkan pula adalah semangat Imam Ibnu Aqil yang telah menulis sebuah karya terbesar di dunia yaitu al-Funun. Tahukah kita berapa jilid kitab tersebut? Sebagian mengatakan sebanyak 800 jilid dan ada yang mengatakan 400 jilid. Imam adz-Dzahabi berkata: "Belum pernah ada di dunia ini kitab yang lebih besar darinya. Seseorang pernah menceritakan kepadaku bahwa dia pernah mendapati juz yang empat ratus lebih dari kitab tersebut."
Tentunya kita sangat jauh dari mereka, رحمه الله tapi setidaknya mulai saat ini kita mulai berpikir kembali: Apa yang sering kita tulis, bermanfaat atau tidakkah ia bagi orang lain khususnya bagi kita sendiri?
Jangan sampai malah justru sebaliknya, banyak kesia-siaan atau bahkan sampai menyakiti orang lain. Jadikan hidup ini seluruhnya bernilai ibadah, hayatuna kulluha ibadatun. Sebab semuanya dari Allah, kepada-Nya lah nanti akan kembali, dan juga akan dimintai pertanggung jawaban.
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Al-Qiyamah : 36)
Berlari Menuju Allah
By : Ave Ry
Dalam bahasa Arab, kata al-firar yang berarti berlari biasanya digunakan untuk mengungkapkan lari dari sesuatu yang ditakuti. Lari karena dikejar singa, anjing gila, atau musuh misalnya. Untuk lari mengejar sesuatu digunakan kata yang lain : jara-yajri-jirayah.
Apabila seseorang berlari karena dikejar singa, dia pasti akan fokus kepada upaya penyelamatan dirinya. Dia tidak akan peduli jika—misalnya—ada duri atau paku yang menusuk kakinya. Dia tidak akan peduli juga jika—misalnya—seseorang memintanya untuk berhenti dan akan diberi setumpuk harta. Dia tetap akan berlari sekencang-kencangnya.
Dengan firman-Nya ini Allah memerintahkan kita semua supaya berlari menuju Allah. Berlari menuju kepada-Nya seperti bila kita berlari dikejar singa. Berlari kencang tanpa mempedulikan rasa sakit yang mungkin dirasa raga atau terpedaya oleh bujuk-rayu dunia.
Dalam karya monumentalnya, Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim al-Jawziyah menerangkan, langkah awal dari berlari kepada Allah ini meliputi tiga hal. Berlari dari kejahilan menuju ilmu, berlari dari kemalasan menuju semangat, dan berlari dari sesaknya dada menuju kelapangannya.
Dari kejahilan menuju ilmu
Orang yang jahil menurut Islam bukan hanya orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang sesuatu. Orang yang pengetahuan dan cakrawala berpikirnya luas pun bisa menjadi orang yang jahil. Menurut Islam, ilmu meliputi pengetahuan tentang kebenaran dan mengamalkan kebenaran yang telah diketahui itu.
Ketika Nabi Yusuf as. dipaksa untuk berbuat nista, beliau—sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam surat Yusuf: 33—mengadu, “Wahai Rabb-ku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Jika Engkau tidak menghindarkan aku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil.”
Mengetahui bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang buruk tidak mengeluarkan seseorang dari kejahilan sampai dia menjauhinya. Demikian pula dengan perintah dan larangan Allah yang lain. Mengetahui bahwa shalat itu wajib tidak mengeluarkan seseorang dari kejahilan sampai dia menegakkannya.
Amru bin Hisyam yang sebelum datangnya Islam digelari dengan Abul Hakam karena kecerdasan dan ketinggian ilmunya, mendapatkan gelar Abu Jahal karena tidak mau mengikuti kebenaran. Amru bin Hisyam pasti memahami dan dapat mencerna semua yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Tetapi karena ilmunya tidak diikuti dengan pengewantahan, dia tidak dianggap sebagai orang yang berilmu. Sebaliknya, dia dinyatakan sebagai orang yang jahil.
Dari kemalasan menuju semangat
Ibnul Qayyim menyatakan bahwa sifat malas, menunda-nunda amal, berandai-andai, dan yang sejenis dengannya sangat berbahaya bagi seseorang. Kemalasan laksana pohon yang hanya membuahkan kerugian dan penyesalan.
Ada beberapa ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan agar kita menerima semua perintah Allah dengan segenap kesungguhan, penuh semangat. Allah berfirman,
خُذُوا مَا آَتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Peganglah dengan teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 63)
وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ
“Telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh itu segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu. Maka (kami berfirman), ‘Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang pada (perintah-perintah-Nya) dengan sebaik-baiknya!’.” (Al-A’raf: 145)
Setiap muslim mesti berlari meninggalkan rasa malasnya menuju keteguhan dan semangat yang senantiasa berapi-api dalam segala kebaikan.
Dari dada sesak menuju dada lapang
Berikutnya hendaklah setiap muslim meninggalkan dadanya yang sesak sesegera mungkin menuju dada yang lapang. Sesaknya dada seseorang biasa datang saat dia khawatir dan gundah mengenai kemaslahatan dirinya, hartanya, atau keluarganya. Dia murung dan menekuknya wajah apabila ada ancaman terhadap diri, harta, atau keluarganya.
Ancaman yang hakiki adalah ancaman yang datang dari Allah. Ancaman yang datang hanya jika seseorang melanggar aturan-aturan-Nya. Ancaman yang datang dari selain Allah hanyalah ancaman yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan ancaman-Nya.
Sebenarnya jika seseorang tsiqqah (percaya) kepada Allah, bertawakal dengan benar, dan berbaik sangka kepada-Nya setelah berusaha untuk bertakwa kepada-Nya dg segenap kemampuannya, niscaya dadanya akan lapang. Ini sudah dijanjikan Allah. Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar (dari semua persoalan) baginya dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya “ (Ath-Thalaq: 2-3)
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Ath-Thalaq: 3)
Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Allah berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي
“Aku ada pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersama-Nya jika Dia berdoa kepada-Ku.”
Maka mari kita berlomba berlari menuju Allah. Wallahul muwaffiq.
Artikel ini ditulis oleh ustadz Imtihan, dan dipublish berdasarkan izin beliau.
Teguh Dalam Dakwah
By : Ave RyJika kau rasa lelah dalam dakwah, maka ; Temukan alasan mengapa kau ingin berada didalamnya dan kau akan tinggal (tetap didalamnya). Temukan teman-teman (yang senafas/setujuan) dan futur itu akan hilang seketika.
Dalam Islam, keteguhan ini dinamakan 'Tsabat'. Ia bermakna teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian serta cobaan di jalan kebenaran.
Ia sebagai daya tahan dan pantang menyerah. Ketahanan diri atas berbagai hal yang merintanginya. Hingga ia mendapatkan cita-citanya atau mati dalam keadaan mulia karena tetap konsisten di jalan-Nya.
Dalam Majmu’atur Rasail, Hasan Al Banna menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tsabat adalah orang yang senantiasa bekerja dan berjuang di jalan dakwah yang amat panjang sampai ia kembali kepada Allah SWT. dengan kemenangan, baik kemenangan di dunia ataupun mati syahid.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah SWT. maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah janjinya”. Al Ahzab : 23
Sesungguhnya jalan hidup yang kita lalui ini adalah jalan yang tidak sederhana. Jauh, panjang dan penuh liku apalagi jalan dakwah yang kita tempuh saat ini. Ia jalan yang panjang dan ditaburi dengan halangan dan rintangan, rayuan dan godaan.
Karena itu dakwah ini sangat memerlukan orang-orang yang memiliki muwashafat ‘ailiyah, yakni orang-orang yang berjiwa ikhlas, itqan dalam bekerja, berjuang dan beramal serta orang-orang yang tahan akan berbagai tekanan. Dengan modal itu mereka sampai pada harapan dan cita-citanya.
“Teguh adalah nafas pejuang kebenaran sepanjang zaman mereka tidak hanyut di air, tak hangus di api dan tak melayang diudara, tak goyah oleh tumpukan harta, kemilau tahta dan rayuan dunia. kiprah mereka hanya satu tetap teguh dalam bergerak dan terus bergerak dalam keteguhan...” - Ust. Rahmat Abdullah