Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Apa Yang Sering Kamu Tulis?

By : Ave Ry

Sosial media, tidak dipungkiri menuntut seseorang untuk mengekspose dirinya lebih. Mulai dari menceritakan hal-ihwal diri dan kesukaannya, ataupun pemikiran.

Tulisan pun bertebaran, hingga dunia media sosial selayak pasar dimana segala rupa yang ingin atau tidak akan terlihat.

Walau tidak sedikit yang hanya bermodalkan copy-paste. Tapi mari kita tinggalkan mereka.

Tulisan, sejatinya adalah buah dari apa yang terbersit dalam jiwa seseorang.

Jika ia memiliki jiwa humanistik yang tinggi, maka kerap ia akan menginformasikan pada kita betapa kemanusiaan saat ini berada di ujung tanduk dengan segala lika-likunya.

Jika ia seorang ahli ilmu, maka janganlah bosan untuk menerima tulisan berbagai ilmu yang ia suguhkan.

Kemudian, ada pula yang memenuhi tulisannya dengan segala perdebatan yang ada. Sehingga ramai orang menuju kepadanya.

Sejenak, mari kita mengingat para ulama-ulama zaman dulu semisal Imam Ath-Thabari, Imam Al-Ghazali, Imam Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Al-Jauzy, Imam Ibnu Katsir, dan Imam Al-Qurthubi yang menghabiskan waktu mereka untuk menulis.

Mereka telah menulis ratusan hingga ribuan judul dan satu judulnya ada yang mencapai ratusan jilid buku. Imam Ath-Thabari, seorang ahli sejarah dan ahli tafsir terkemuka, membiasakan diri selama 40 tahun untuk menulis 40 lembar setiap hari. Setelah kematiannya, murid-muridnya menghitung apa yang ditulisnya setiap hari. Ternyata sejak beliau berusia baligh sampai meninggalnya, terhitung kurang lebih 14 lembar yang beliau tulis setiap hari.

Abu Ishaq asy-Syairazi telah menulis 100 jilid buku. Imam Ibnu Taimiyah menyelesaikan setiap buku dalam waktu satu minggu. Beliau pernah menulis satu buku penuh dalam satu kali duduk. Dan bukunya telah dijadikan referensi oleh lebih dari 1000 penulis.

Imam Ibnu al-Jauzy telah menulis 1000 judul buku dan satu bukunya ada yang mencapai 10 jilid. Kayu bekas penanya bisa dipakai untuk memanaskan air yang dipakai untuk memandikan jasadnya ketika meninggal.

Termasuk semangat yang menakjubkan pula adalah semangat Imam Ibnu Aqil yang telah menulis sebuah karya terbesar di dunia yaitu al-Funun. Tahukah kita berapa jilid kitab tersebut? Sebagian mengatakan sebanyak 800 jilid dan ada yang mengatakan 400 jilid. Imam adz-Dzahabi berkata: "Belum pernah ada di dunia ini kitab yang lebih besar darinya. Seseorang pernah menceritakan kepadaku bahwa dia pernah mendapati juz yang empat ratus lebih dari kitab tersebut."

Tentunya kita sangat jauh dari mereka, رحمه الله tapi setidaknya mulai saat ini kita mulai berpikir kembali: Apa yang sering kita tulis, bermanfaat atau tidakkah ia bagi orang lain khususnya bagi kita sendiri?

Jangan sampai malah justru sebaliknya, banyak kesia-siaan atau bahkan sampai menyakiti orang lain. Jadikan hidup ini seluruhnya bernilai ibadah, hayatuna kulluha ibadatun. Sebab semuanya dari Allah, kepada-Nya lah nanti akan kembali, dan juga akan dimintai pertanggung jawaban.

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Al-Qiyamah : 36)


Mensuci Hati, Berlurus Pikir

By : Ave Ry

“Untuk mencapai cara berpikir yang lurus, cara berpikir yang benar, jauhkan dirimu dari hawa nafsu. Karena hawa nafsu lah yang membuat manusia tidak bisa berpikir dengan lurus.”

~ Syaikh Sayyid Syaltut

Dan berapa banyaknya para pengusung Liberalisme yang berdiaspora dan masuk kedalam sel-sel berbagai aliran sesat dan perilaku menyimpang berlindung dibalik tameng akademis/keilmuwan mereka?

Namun sungguh disayangkan, anugrah yang dikaruniakan Tuhan pada mereka malah membuat mereka menjadi agen-agen yang bertugas membelokkan manusia dari kerangka berpikir yang lurus.

Hawa nafsu memiliki peran yang teramat besar dalam menggelincirkan manusia dari fithrahnya. Terlebih lagi jika para pengusungnya menggunakan dalil-dalil agama untuk menambal kesalah-tafsiran mereka.


Allah Subhana wa ta’ala telah memperingatkan manusia bahwa hanya orang-orang yang suci lah, bersih hati dan pikirannya, yang dapat tersentuh oleh Al-Qur’an.



“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”


(Al-Waqi’ah: 79)



Maka tidak ada jalan lain, kesucian hati dalam rangka menopang cara berpikir yang lurus dan benar sesuai kehendak Sang Pencipta adalah hal yang mutlak dilakukan.



Pada tempat lain Allah Subhana wa ta’ala membimbing kita agar meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.



(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.”

(Ash-Shaffat: 84)



Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata di dalam tafsirnya, “Yakni dia datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat dari kesyirikan, syubhat-syubhat, dan syahwat-syahwat yang bisa menghalanginya dari mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Apabila hati seorang hamba telah selamat dari hal-hal di atas, maka hati tersebut akan terhindar dari segala keburukan-keburukan, dan sebaliknya hati tersebut akan memunculkan kebaikan-kebaikan. Dan di antara bentuk keselamatan hati adalah bahwa ia selamat dari perbuatan menipu daya manusia, serta selamat dari hasad dan dari berbagai bentuk akhlak yang tercela.”



Semoga Allah Subhana wa ta’ala menjaga kita dari hawa nafsu yang tercela.



“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar.” (HR. Tirmidzi no. 3591)

Mencintai Khilafah, Kok Jadi Generasi Pemarah?

By : Ave Ry

Akhir-akhir ini beranda Facebook saya dipenuhi dengan status-status penuh amarah, kebencian, sarkasme. Ya, entah sejak kapan hal itu berlangsung ; kebencian meluap-luap atas segala yang terjadi, mulai dari kebencian pada pejabat atau pemerintah keseluruhan, system, kelompok. Tidak satupun tertinggal untuk dikritik, tidak satupun tertinggal untuk dicela bahkan dilaknat.

Pertanda apakah ini? Muncul generasi-generasi pemarah, pembenci. Hilangnya kepercayaan dan bahkan adab berucap. Masing-masing pihak merasa dirinya paling benar. Ah, rasanya rindu berada di zaman itu, di zaman sebenar khilafah tertegak. Dimana si mukmin nyaman dan si munafik tak tentram, bukan seperti sekarang yang terbalik, si munafik nyaman dan si mukmin tak tentram.

Ada sebuah kisah yang akan terus disadur karena kebaikan isinya, dan bahkan setelah membacanya untuk ke sekian kali saya masih saja berkaca-kaca. Masih adakah?

Umar bin khattab sedang duduk di bawah sebatang pohon kurma. Surbannya di lepas, menampakkan kepala yang rambutnya mulai teripis di beberapa bagian. Di atas kerikil ia duduk, dengan cemeti umatar nya tergeletak di samping tumpuan lengan. Di hadapannya para pemuka shahabat bertukar pikiran dan membahas berbagai persoalan. Ada anak muda yang tampak menonjol di situ. Abdullah ibn Abbas. Berulang kali Umar memintanya berbicara. Jika perbedaan wujud, Umar hampir selalu bersetuju dengan Ibnu Abbas. Ada juga Salman Al-Farisi yang tekun menyimak. Ada juga Abu Dzar Al-Ghifari yang sesekali bicara berapi-api. 

Pembicaraan mereka segera terjeda. Dua orang pemuda berwajah mirip datang dengan mengapit pria belia lain yang mereka cekal lengannya. “Wahai Amirul Mukminin,” Ujar salah satu berseru-seru, “Tegakkanlah hukun ALLAH atas pembunuhan ayah kami ini!”

Umar bangkit

”Takutlah kalian kepada ALLAH!” hardiknya, “Perkara apakah ini?” kedua pemuda itu menegaskan bahwa pria belia yang mereka bawa ni adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah mangaku. Umar bertanya kepada sang tertuduh. “Benarkah yang mereka dakwakan kepadamu ini?” “Benar wahai Amirul Mukminin!” “Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu kulihat ada sesal!” ujar Umar menyelidik dengan teliti. “Ceritakanlah kejadiannya!” “Aku datang dari negeri yang jauh” kata belia itu. “Begitu sampai di Kota ini ku tambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebunmilik keluarga mereka. Ku tinggalkan ia sejenak untuk mengurus suatuhajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.” “Saat aku kembali,” lanjutnya sembari menghela nafas, “Kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan malang itu tewas menggenaskan. Melihat kejadian itu, aku di bakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada ALLAH karenanya” 

Umar tecenung

“Wahai Amirul mukminin,” kata salah satu dari kedua kakak beradik itu, “Tegakkanlah hukum ALLAH. Kami meminta qishash atas orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa. Umar melihat pada belia tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar hawa amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun. gurat-gurat sesal tampak jelas membayang di air mukanya. Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi. 


“Bersediakah kalian,” ucap Umar ke arah dua pemuda penuntut Qishash, “Menerima pembayaran diyat dariku atas nama pemuda ini dan memaafkan nya?”. Kedua pemuda itu saling pandang,”Demi ALLAH, hai Amirul mukminin” jawab mereka, “Sungguh kami sangat mencintai ayah kami. dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta. keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyat sebesar apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskinyang menghajatkan harta. Hati kami baru akan tenteram jika Had di tegakkan!”. 

Umar terhenyak

“Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada sang terdakwa. “Aku ridha hukum ALLAH di tegakkan atasku, wahai Amirul Mukminin” kata si belia dengan yakin. “Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali pada mereka. demikian juga keluargaku. aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil Jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha dan keampunan ayah ibuku” 

Umar terhenyuh

Tak ada jalan lain. hudud harus di tegakkan. Tetapi pemuda itu juga memiliki amanah yang harus di tunaikan. “Jadi bagaimana?” tanya Umar. “Jika engkau mengijinkanku, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi ALLAH, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai putra Al-Khattab”. “Adakah orang yang isa menjaminmu?”. “Aku tidak memiliki seorangpun yang kukenal di kota ini hingga dia bisa kuminta menjadi penjamin ku. Aku tak memiliki seorangpun penjamin kecuali ALLAH yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”. “Tidak! Demi ALLAH, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tak bisa mengizinkanmu pergi.”. “Aku bersumpah dengan nama ALLAH yang amat keras azabnya. Aku takkan menyalahi janjiku.”. “Aku percaya, tapi tetap harus ada manusia yang menjaminmu!”. “Aku tak punya!”. 

“Wahai Amirul Mukminin!” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. “Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah ia menunaikan amanahnya!” inilah dia, Salman Al Farisi yang tampil mengajukan diri. “Engkau hai Salman, bersedia menjamin anak muda ini?”. “Benar. Aku bersedia!”. “Kalian berdua kakak beradik yang mengajukan gugatan,”panggil Umar, “Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini? Adapun Salman demi ALLAH, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak sudi berkhianat”. Kedua pemuda itu saling pandang. “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.  

*****

Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tak karuan. Dia mondar mandir sementara Salman duduk khusu’ di dekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya di ujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tak datang memenuhi janji, maka dirinyalah selaku penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qishash. 

Waktu terus merambat. Belia itu masih belum muncul. Kota Madinah mulai terasa kelabu. Para shahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi ALLAH, mereka keberatan jika Salman harus di bunuh sebagai badal. Mereka sungguh tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk islam begitu besar itu. Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia di hormati. Dia dicintai. Satu demi satu, dimulai dari Abi Darda’, beberapa shahabat mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan padanya. Tetapi Salma menolak. Umar juga menggeleng. 

Matahari semakin langsir ke Barat. Kekhawatiran Umar makin memuncak. Para shahabat makin kelut dan sedih. Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang terpidana. 

“Maafkan aku,” ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur wajah, urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak sempat istirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa kutinggal di tengah jalan. aku harus berlari-lari untuk sampai kemari sehingga nyaris terlambat.” Semua yang melihat wajah dan penampilan pemuda ini merasakan satu sergapan iba. semua yang mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. 

Semua tiba-tiba merasa tak rela jika sang pemuda harus berakhir hidupnya di hari itu.  “Pemuda yang jujur” ujar Umar dengan mata berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash?”. “Sungguh jangan sampai orang mengatakan,” kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tak ada lagi orang yang tepat janji. dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum muslimin”. 

“Dan kau Salman,” kata Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa mempercayainya?”. “Sungguh jangan sampai orang bicara,” ujar Salman dengan wajah teguh, “Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi saling percaya di antara orang-orang Muslim.”. “ALLAHU AKBAR!” kata Umar, “Segala puji bagi ALLAH. kalian telah membesarkan hati ummat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai pemuda, had untukmu harus kami tegakkan!” 

Pemuda itu mengangguk Pasrah. “Kami memutuskan…” Kata kakak beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, “Untuk memaafkannya.” mereka tersedu sedan. “Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan tepat janji. Demi ALLAH, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada ALLAH atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin”. “Ahamdulillah!, Alhamdulillah!” ujar Umar. 

Pemuda terhukum itu sujud syukur. Salman tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat mengagungkan Asma ALLAH, yang kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin. “Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Umar pada kedua ahli waris korban. “Agar jangan sampai ada yang mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa di kalangan kaum muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang”


Tag : ,

- Copyright © Al-Ihtisyam - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -