Tampilkan postingan dengan label Kajian Hadist. Tampilkan semua postingan
Berkah Dalam Musibah
By : Ave Ry
Pernah nggak sih sobat Gen-Q berpikir “Orang jahat itu kenapa hidupnya lama terus baik-baik aja, sedangkan orang baik itu lebih cepat mendahului dan banyak cobaannya”
Kalau Gen-Q pernah berpikir begitu. Ternyata, baru siang ini mendapat jawabannya. Tepatnya ketika mendengar untaian nasihat Ust. Abu Yahya Badrussalam. Beliau membawakan sebuah hadist dari Anas bin Malik r.a
“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hambaNya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hambaNya, Allah akan membiarkan dosanya (di dunia) sampai Allah membalasnya pada hari kiamat.” (HR At Tirmidzi dan Al Hakim)
Dalam tausyahnya, beliau memerinci tanda-tanda seorang hamba yang diinginkan Allah Subhana wa ta’Ala kebaikan baginya, yaitu :
1. Dibukanya pintu amal sebelum kematian menjelang.
“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan jadikan ia beramal.” Dikatakan, “Apakah dijadikan beramal itu?” Beliau bersabda, “Allah bukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya ridla kepadanya.” (HR Ahmad)
2. Dipercepat sanksinya di dunia.
“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hambaNya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hambaNya, Allah akan membiarkan dosanya (di dunia) sampai Allah membalasnya pada hari kiamat.” (HR At Tirmidzi dan Al Hakim dari Anas bin Malik)
3. Diberikan cobaan.
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah akan memberinya musibah.” (HR Ahmad dan Al Bukhari dari Abu Hurairah)
Cobaan pasti akan menerpa kehidupan mukmin, karena itu janji Allah:
“Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.” (Baqarah : 155)
Cobaan itu untuk menggugurkan dosa dan mengangkat derajat.
“Senantiasa ujian itu menerpa mukmin atau mukminah pada jasadnya, harta dan anaknya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR Ahmad)
4. Difaqihkan dalam agama.
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam agama.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Kefaqihan adalah pemahaman yang Allah berikan kepada seorang hamba. Pemahaman yang lurus terhadap Al Qur’an dan hadits berasal dari kebeningan hati dan aqidah yang shahih. Karena hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan dapat memahami Al Qur’an dan hadits dengan benar. Sebagaimana yang dikabarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kaum khawarij yang membaca Al Qur’an:
“Akan keluar suatu kaum dari umatku, mereka membaca Al Qur’an. Bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan Al Qur’an mereka, shalat dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan shalat dan puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an dan menyangka bahwa Al Qur’an mendukung mereka padahal Al Qur’an tidak mendukung mereka.” (HR Muslim)
Itu semua akibat kedangkalan ilmu dan mengikuti hawa nafsu, sehingga mereka tidak diberikan pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan hadits. Mereka mengira bahwa ayat Al Qur’am mendukung perbuatan mereka, padahal tidak demikian. Tentu yang memahaminya adalah orang-orang yang Allah faqihkan dalam agama dan selamatkan dari hawa nafsu.
5. Diberikan kesabaran.
“Tidaklah seseorang diberikan dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Kesabaran dalam keimanan bagaikan kepala untuk badan. Badan tak akan hidup tanpa kepala, demikian pula iman tak akan hidup tanpa kesabaran. Untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya amat membutuhkan kesabaran. Karena Iblis dan balatentaranya tak pernah diam untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.
“Tidak ada yang diberikan (sifat-sifat yang terpuji ini) kecuali orang-orang yang sabar, dan tidak ada yang diberikannya kecuali orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushilat : 35)
So, bagi sobat yang saat ini tengah ditimpa musibah, jangan dulu mengeluh, La Tahla! Bisa jadi Allah sedang memberikan kebaikan yang banyak kepada kita dengan musibah tersebut, tapi dengan berbekal kesabaran yang baik dalam melaluinya tentu. Semoga dalam musibah yang tengah kita hadapi mendatangkan keberkahan Allah dalam kehidupan kita.
"Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang Engkau inginkan kebaikan padanya, beri kami kesabaran untuk menjalani perintahMu dan menjauhi laranganMu, beri kami kesabaran dalam menghadapi musibah yang menerpa, beri kami kefaqihan dalam agama dan bukakan untuk kami pintu amal shalih sebelum wafat kami"
Sumber : Ust. Abu Yahya Badrussalam, Lc (Rekaman Radio Rodja)
Taqwa-Nya Tuh Disini, Didalam Hatiku
By : Ave RyRasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: ”…taqwa itu disini, seraya menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali…” (HR. Muslim)
Apa yang dimaksudkan Rasulullah ialah taqwa itu tempatnya di lubuk hati, bukan di ujung lidah, sebab apa yang diucapkan oleh lidah belum tentu sama dengan apa yang bersemayam di hati.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” (HR. Muslim)
Ibnu Daqiq Al ‘id -rahimahullah- menjelaskan
Maknanya, amalan dhohir (yang tampak) belum tentu dapat menghasilkan ketaqwaan, namun ketaqwaan itu adalah apa yang terdapat di dalam hati dari pengagungan, khasy-yah (rasa takut yang disertai pengagungan), mendekatkan diri kepada Allah dan hati yang merasa diawasi Allah ta’ala yaitu dengan menyadari bahwa Allah melihat dan meliputi segala sesuatu. Dan makna melihat hati-hati kalian –wallahu a’lam- adalah melihat harapan dan persangkaan, dan hal itu semua dilakukan dengan hati.
“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini terdapat segumpal darah. Apabila
segumpal darah itu baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya. Dan
apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk pula seluruh anggota
tubuhnya. Segumpal darah yang aku maksudkan adalah hati” (HR. Bukhari)
Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- mengatakan: “Taqwa kepada Allah ta’ala itu letaknya di hati, jika hatinya bertaqwa maka anggota badannya juga.”
Hadist ini bermaksud segala amal lahiriah manusia harus diliputi taqwa, bertempat di lubuk hati, seperti meninggikan syi’ar agama Allah, menyimpan perasaan takut kepada Allah, menjaga diri dari kemurkaan-Nya.
Kata taqwa mengandung pengertian yang berbeda-beda di kalangan ulama. Namun semuanya bermuara pada satu pengertian, yaitu seorang hamba melindungi dirinya dari kemurkaan Allah ‘Azza wa Jala dan juga siksa-Nya. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang-Nya.
Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Asal taqwa adalah seorang hamba membuat pelindung yang dapat melindungi dirinya dari hal-hal yang ditakuti”.
Ketaqwaan seorang hamba kepada Rabbnya adalah dia melindungi dirinya dari hal-hal yang dia takuti, yang datang dari Allah berupa kemurkaan dan adzab-Nya, yaitu dengan melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya.
Hasan al-Bashri berkata,
“Sifat taqwa tetap melekat pada diri orang-orang yang bertaqwa selama mereka meninggalkan perkara-perkara yang halal karena mereka takut terjerumus kedalam perkara-perkara yang haram”
Termasuk Taqwa yang sempurna adalah melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal yang diharamkan dan syubhat. Dan kadangkala termasuk di dalamnya juga melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) dan meninggalkan yang makruh (tidak disukai).
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, at taqwa adalah meninggalkan yang diinginkan oleh hawa nafsumu karena engkau takut (kepada Dzat yang engkau takuti).”
Sementara itu Ibnu Qayyim rahimahullah menyatakan,
“Hakikat Taqwa adalah menaati Allah atas dasar iman dan ihtisab, baik terhadap perkara yang diperintah ataupun yang dilarang. Maka, dia melakukan perintah itu karena imannya terhadap yang diperintahkan-Nya dan disertai dengan pembenaran terhadap janji-Nya, dan dengan imannya itu juga ia meninggalkan yang dilarang-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya.”
Derajat ketaqwaan seseorang itu bertingkat tingkat. Ada yang sudah bisa sampai menjauhi hal – hal yang mubah karena takut syubhat, ada yang baru bisa sampai menjauhi hal – hal yang makruh. Yang paling rendah, menjauhi hal – hal yang haram, walaupun masih belum bisa menjauhi hal – hal yang makruh apalagi yang mubah. Maka bersyukurlah bagi yang telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari yang lain dan bersungguh-sungguhlah untuk terus menjaga taqwa hingga ajal menjemput dengan minta pertolongan kepada Allah ta’ala.
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At Taghobun : 16)
Sumber :
1. Mahad IB.blogspot.com
2. Muslimah.or.id
Bersegera Dalam Kebaikan
By : Ave Ry“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah)
Menangguhkan atau menahan hak seseorang setelah kewajiban dilaksanakan setelah berlalu waktunya walaupun sedikit termasuk bentuk kezhaliman. Termasuk didalamnya mempersulit jalan bagi pekerja untuk memperoleh haknya tersebut.
Terlebih lagi mereka mengemban tanggung jawab nafkah untuk keluarga dan diri mereka sendiri. Penangguhan itu tentu mengantarkan mereka kepada kelaparan, kesulitan, pinjaman dan utang. Sungguh ini merupakan kezhaliman yang besar.
Maka hendaknya bagi orang-orang yang mempekerjakan mereka senantiasa mengingat hal itu dan membayangkan bila hal itu menimpa mereka. Jika hak mereka ditahan sementara mereka sangat membutuhkan, apa yang akan mereka lakukan?
Hendaklah mereka takut akan doanya orang yang dizhalimi, karena tidak ada pembatas antara Allah dan doanya orang yang dizhalimi.
"Hendaklah kamu waspada terhadap doa orang yang dizalimi sekalipun dia adalah orang kafir. Maka sesungguhnya tidak ada penghalang diantaranya untuk diterima oleh Allah." (HR Ahmad)
Sebagai ummat Rasulullah, hendaknya seorang Muslim memudahkan urusan Muslim lainnya. Dengan menyegerakan kebaikan bagi mereka, tidak dengan menunda atau mempersulitnya.
Sebesar apakah keuntungan dengan tidak menyegerakan kebaikan? Jika ada, maka hal itu tidak sebanding dengan keuntungan yang akan diberikan Allah apabila ia menyegerakan kebaikan bagi saudaranya.
“Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim)
Apabila kita mengetahui bahwa sebenarnya kita mampu berbuat sesuatu untuk menolong kesulitan orang lain, maka segeralah lakukan, segeralah beri pertolongan. Terlebih lagi bila orang itu telah memintanya kepada kita. Karena pertolongan yang kita berikan, akan sangat berarti bagi orang yang sedang kesulitan. Cobalah bayangkan, bagaimana rasanya apabila kita berada di posisi orang yang meminta pertolongan pada kita. Dan sungguh Allah sangat mencintai orang yang mau memberikan kebahagiaan kepada orang lain dan menghapuskan kesulitan orang lain.
Pada suatu hari Rasululah ditanya oleh sahabat beliau : “Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai Allah dan apakah perbuatan yang paling dicintai oleh Allah ? Rasulullah menjawab : “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling banyak bermanfaat dan berguna bagi manusia yang lain; sedangkan perbuatan yang paling dicintai Allah adalah memberikan kegembiraan kepada orang lain atau menghapuskan kesusahan orang lain, atau melunasi hutang orang yang tidak mampu untuk membayarnya, atau memberi makan kepada mereka yang sedang kelaparan dan jika seseorang itu berjalan untuk menolong orang yang sedang kesusahan itu lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjidku ini selama satu bulan ” ( HR Thabrani ).
Apakah kita akan mengabaikan kesempatan berbuat amal kebaikan dan menghilangkan kesempatan menjadi hamba yang dicintai Allah karena keengganan kita membantu saudara semuslim yang sedang kesulitan? Apa yang membuat kita menjadi enggan memberikan pertolongan, bukankah semua, segala sesuatu yang kita miliki sebenarnya dari Allah, lalu mengapa saat Allah mengirimkan hamba-Nya yang kesulitan datang pada kita, kita berpaling dan tidak menghiraukan?
Kita harus ingat, bahwa kita ini berada dalam pengawasan Allah, jiwa, harta dan segala sesuatu yang kita miliki berada dalam genggaman-Nya. Sebaiknya kita selalu mengusahakan agar dalam hidup, kita tidak mengundang murka dan azab Allah.
”Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat,” Wahai anak Adam, dulu Aku sakit tetapi engkau tidak menjenguk-Ku.” Manusia bertanya,” Tuhanku, bagaimana kami dapat menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?”Tuhan menjawab,” Tidak tahukah engkau bahwa si fulan sakit, tetapi engkau tidak menjenguknya? Tidak tahukah engkau jika engkau menjenguknya, engkau pasti dapati Aku ada di sisinya.”Tuhan berfirman lagi,” Wahai anak Adam, dulu Aku minta makan kepada engkau tetapi engkau tidak memberi Aku makan.”Manusia bertanya,” Tuhanku, bagaimanakah aku dapat memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?”Tuhan menjawab,” Tidak tahukah engkau bahwa hamba-Ku si fulan meminta makan kepadamu dan engkau tidak memberinya makan? Tidak tahukah engkau bahwa jika engkau memberinya makan, engkau pasti dapati ganjarannya ada di sisi-Ku.”Tuhan befirman,” Wahai anak Adam, dulu Aku minta minum kepadamu dan engkau tidak memberi-Ku minum.”Manusia bertanya,” Tuhanku, bagaimanakah aku dapat memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?”Tuhan berfirman,” Hamba-Ku fulan meminta minum padamu dan engkau tidak memberinya minum. Apakah engkau tidak tahu bahwa seandainya engkau berikan ia minum engkau pasti dapati ganjarannya ada di sisi-Ku.” ( HR. Muslim)
Tag :
Kajian Hadist,
Renungan,
Muslimah & Keindahan
By : Ave Ry
Sesungguhnya Allah itu suka melihat nikmat yang Dia berikan kepada hamba-Nya (HR. Muslim)
Di dalam kitab as-Sunan disebutkan satu riwayat dari al-Ahwash al-Jusyami, ia berkata;
“Nabi pernah melihatku memakai pakaian lusuh, lantas beliau bertanya: ‘Bukankah kamu mempunyai harta?’ Aku menjawab: ‘Ya’. Beliau bertanya lagi: ‘Apakah jenis hartamu itu?’ Aku menjawab: ‘Dari jenis unta dan kambing’. Kemudian beliau bersabda: ‘Hendaklah nikmat dan kemulian-Nya kepadamu itu diperlihatkan’.” (HR. Tirmidzi)
Allah senang melihat wujud nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya. Sebab, memperlihatkan nikmat Allah merupakan salah satu keindahan yang dicintai-Nya dan sekaligus bentuk syukur hamba atas nikmat yang diberikan kepadanya.
Syukurnya hamba itu merupakan keindahan bathin. Dengan kata lain, Allah senang melihat keindahan lahir, yaitu wujud nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba-Nya, dan keindahan bathin berupa rasa syukur hamba kepada-Nya.
Oleh sebab kecintaan-Nya pada keindahan, Allah menurunkan pakaian dan perhiasan kepada para hamba-Nya untuk memperindah penampilan lahir mereka, serta pakaian taqwa untuk memperindah bathin mereka.
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa, itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Al-A’raaf : 26)
Seorang muslim ataupun muslimah yang berhias sesuai ketentuan Islam, maka sesungguhnya telah menegaskan jati dirinya sebagai mukmin ataupun muslim. Mereka telah menampilkan diri sebagai sosok pribadi yang bersahaja dan berwibawa sebagai cermin diri yang konsisten dalam berhias secara syar'i.
Di samping itu dengan dandannya yang telah mendapatkan jaminan halal secara hukum. Sehingga apa yang sudah dilakukan akan menjadi motivasi untuk menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesamanya. Tidak menimbulkan keangkuhan dan kesombongan karena dandanan (hiasan) yang dikenakan, karena keangkuhan dan kesombongan merupakan perangkap syaithon yang harus dihindari.
Berhias secara Islami akan memberikan pengaruh positif dalam berbagai aspek kehidupan, karena berhias yang dilakukan diniatkan sebagai ibadah, maka segala aktivitas berhias yang dilakukan seorang muslim, akan menjadi jalan untuk mendapatkan barokah dan pahala dari al-Kholik. Namun sebaliknya apabila seseorang dalam berhias (berdandan) mengabaikan norma Islam maka segala hal yang dilakukan dalam berdandan, akan menjadi pendorong untuk melakukan kemaksiatan kemungkaran bahkan menjadi sarana memasuki perangkap syaithon yang menyesatkan.
Sejak awal agama Islam telah menanamkan kesadaran akan kewajiban pemeluknya untuk menjaga sopan santun dalam kaitannya dengan berhias ataupun berdandan, dengan cara menentukan bahan, bentukm ukuran dan batasan aurat baik bagi pria ataupun wanita.
Berhias merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut tuntutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan dalam berhias menjadi tuntutan yang terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan kegiatan berhias atau berdandan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keinginan mengembangkan berbagai model menurut fungsi dan momentumnya, sehingga berhias dapat menyatakan identitas diri seseorang.
Dalam Islam diperintahkan untuk berhias yang baik, bagus, dan indah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa, perhiasan tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berhias, yaitu mempercantik atau memperelok diri dengan dandanan yang baik dan indah. Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat, maka seyogyanya perhiasan yang kita pakai itu haruslah yang baik, bersih dan indah (bukan berarti mewah), karena mewah itu sudah memasuki wilayah berlebihan.
"Hak anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan, minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (Al-A'raf : 31)
Islam mengajak manusia untuk hidup secara wajar, berpakaian secara wajar, berhias secara lazim, jangan kurang dan jangan berlebihan. Karena itu setiap pribadi sepatutnya tidak menyombongkan diri, tidak angkuh, tetapi tetap sederhana dan penuh kebersahajaan sebagai wujud konsistensi terhadap ajaran Islam.
Sumber :
Fawaidul Fawaid, Ibnul Qayyim Al-Jauzziyah
Menjaga Akidah dan Akhlak, Roli Abdul Rahman - M. Khamzah
Antara Kau & Rizqi
By : Ave RyDalam kitab Shahih Al Jami’ disebutkan sebuah hadits dari Rasulullah Saw yang berbunyi, "Sesungguhnya malaikat Jibril menghembuskan ke dalam hatiku bahwasanya jiwa hanya akan mati sampai tiba masanya dan memperoleh rizqinya, maka bertakwalah kepada Allah, carilah nafkah yang baik, jangan bermalas-malasan dalam mencari rizqi, terlebih mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya Allah tidak akan memberikan apa yang dicarinya kecuali dengan taat kepadaNya.” (HR. Imam Ibnu Majah)
Sahabat, Rizqi adalah ketetapan. Cara menjemputnya adalah ujian. Ujian yang menentukan rasa kehidupan. Sebab, ia lah yang paling terindra dalam hayat kita di dunia.
Di antara makna rizqi adalah segala yang keluar masuk bagi diri dengan anugrah manfaat sejati. Nikmat adalah rasa yang terindra dari sifat maslahatnya. Kasur yang empuk dapat dibeli, tapi tidur yang nyenyak adalah rizqi. Ia dapat saja terkarunia di alas Koran yang lusuh, dan bukan di ranjang kencana yang teduh. Hidangan yang mahal dapat di pesan, tetapi lezatnya makan adalah rizqi. Ia dapat saja terkarunia di wadah daun pisang bersahaja, bukan di piring emas dan gelas berhias permata.
Atau bahkan, ada yang memandang seseorang tampak kaya raya, namun sebenarnya Allah telah mulai membatasi rizqinya.
Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Allah-lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata. ( Huud : 6 )
Konsep ini, penjaminan rizqi tiap makhluq oleh Sang Khaliq yang banyak terluput dari manusia. Lupa bahwa ia dalam naungan Rabb Yang Maha Kaya, Pemilik Segala. Banyak manusia bersibuk dalam harta yang sudah dijaminkan untuknya namun ia menjemputnya dengan cara yang tidak di ridhoi Sang Pemberi. Dengan jalan korupsi, mencuri, menipu atau berlaku curang dan tidak jujur dalam perniagaannya. Dan yang lebih ironi adalah ketika perbuatan itu dilakukan oleh seorang Muslim yang ajaran Al-Qur’an telah pun ia pelajari. Diletakkan dimanakah iman itu ketika perbuatan nista ia lakukan?
Sahabat, sesungguhnya rizqi itu telah tertulis di langit dan diterakan kembali oleh malaikat ketika ruh kita ditiupkan kedalam janin ibunda. Dan telah pun tertulis, hendak diambil dari jalan manapun, hanya itulah yang menjadi jatah kita.
Maka dari itu, janganlah engkau kotori tanganmu dengan mengambilnya dari jalan yang haram. Bersabarlah, hingga ia datang kepada kita dengan jalan yang halal. Usah tergesa, Allah lebih mengetahui pada saat kapan ia lebih diperlukan. Tunggulah ia dengan ikhtiyar usaha dan tengadah doa.
Aku tahu, rizqiku takkan diambil orang, karenanya hatiku tenang. Aku tahu, amalku takkan dikerjakan orang, karenya kusibuk berjuang (Hasan Al-Bashri)
Bangkit, Semangatlah!
By : Ave Ry
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: 'Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.' Akan tetapi hendaklah kau katakan: 'Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.' Karena perkataan seandainya dapat membuka pintu syaithan."
(HR. Muslim)
Dalam syarahnya imam An Nawawi menjelaskan,
“Bersemangatlah dalam melakukan ketaatan pada Allah, selalu
berharaplah pada Allah dan carilah dengan meminta tolong pada-Nya. Jangan patah
semangat, yaitu jangan malas dalam melakukan ketaatan dan jangan lemah dari
mencari pertolongan. ” (Syarh Shahih Muslim,
16: 194).
1.
Semangat untuk meraih ilmu yang bermanfaat. Ketika
seseorang mendapatkan hal yang bermanfaat tersebut, hendaklah ia terus semangat
untuk meraihnya.
2.
Meminta tolong pada Allah untuk meraih ilmu tersebut.
3.
Tidak patah semangat untuk meraih tujuan.
Al Junaid berkata,
“Tidaklah seseorang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan penuh kejujuran, melainkan ia akan meraihnya. Jika ia tidak seluruhnya, ia pasti meraih sebagiannya.”
Bagi tiap muslim, karya tak boleh berjeda. Karena,"Sesungguhnya siang dan malam berkarya dalam dirimu. Maka berkaryalah". pesan Umar bin Abdul Aziz suatu ketika. Maka tak ada lagi alasan dan rasa malas. Kalaupun ia hadir dna memaksa, hempaskan saja ! Kalaupun ia datang walau hanya menyapa saja, biarkan ia berlalu. karena banyak yang telah bersedia hati menunggu karya-karya kita.
Ingatkah kita akan hadis Rasulullah berikut ini :
"Barang siapa yang hari ini lebih baik dibandingkan yang terdahulu, maka dia termasuk orang yang sukses. Barang siapa yang hari ini sama seperti yang terdahulu, maka dia termasuk orang yang tertipu. Barang siapa yang hari ini lebih buruk dibandingkan yang terdahulu, maka dia termausk orang-orang yang merugi dihadapan Allah swt"
Jadi, orang sukses adalah today is better than yesterday. Hari ini harus lebih baik dibandingkan dengan yang terdahulu dan tentu saja, tomorrow will be better than today, hari esok akan lebih baik dibandingkan hari ini. So, masihkah kita bermalas-malasan. Teruslah melangkah, teruslah semangat berkarya. Dalam kondisi bagaimanapun, kita harus senantiasa memberikan yang terbaik untuk umat. Senantiasa menyalakan semangat, dan membuktikan pada semesta bahwa Islam adalah rahmat.
Berkarya tidak harus menulis, tapi bagaimana membuat sebuah tulisan di jiwa, hati dan pikiran kita untuk berdakwah sehingga melahirkan terus dan terus kader-kader dakwah. Membentuk sosok-sosok idaman umat yang baru. Membentuk manusia-manusia perubah baru. Memang semua itu membutuhkan waktu yang lama. Tapi inilah sebuah proses sahabat. Karena tiada sesuatu yang instan jika ingin menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Justru yang instan-instan itu kurang bagus dan kurang berkualitas. Marilah kita membentuk jundi-jundi baru.
"Bangkitlah hati bersama cahaya yang bersinar. Kembangkan sayap-sayapmu hingga malam berlalu dan tibanya fajar, akan di sambut dengan senyuman dan lafaz ayat suci-Mu sebagai tanda syukur kebahagiaan. Setetes air mata mensucikan jiwa dan pikiran sebagai tanda rindu dan cintaku pada-Nya"
Tag :
Kajian Hadist,
Renungan,
Keutamaan Ridho Kepada Allah, Rasul dan Agama Islam
By : Ave RyDari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً)
Tag :
Kajian Hadist,
Ketika Allah Mencintai Hambanya
By : Ave Ry“Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘ Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepada-Ku dengan sesuatu, yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya, dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya; bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan; jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya”. (H.R.al-Bukhâriy)
Tag :
Kajian Hadist,